Potensinews.id – Quadra Politica atau cabang kekuasaan keempat dimana penyelenggara pemilu wajib memiliki kamarnya sendiri
Tak lain agar mencegah terjadinya terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan dalam hal ini eksekutif dan konflik of interest yang merugikan kepentingan umum.
Montesquieu dalam De L’esprit Des Lois mengatakan Trias Politica merupakan konsep besar dalam sejarah teori politik yang kemudian banyak diterapkan oleh banyak negara di dunia.
Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yaitu “tri” yang berarti tiga, “as” yang berarti poros, dan “politica” yang memiliki arti kekuaasan.
Secara utuh, Trias Politica diartikan sebagai suatu ajaran yang mempunyai anggapan bahwa terdapat tiga macam kekuasaan dalam sebuah negara.
Bagaimana konsep kehidupan bernegara yang ditawarkan dengan melakukan pemisahan kekuasan yang diharapkan akan saling lepas dengan kedudukan yang sederajat yang kita kenal dengan kekuasaan negara yang terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham teori Montesquieu yang menempatkan tiga cabang kekuaasan dalam hal penyelenggaraan negara yang termaktub dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
Jika kita koneksikan dengan pesta demokrasi di Indonesia, prosesi Pemilihan Umum yang berintegritas dan berkualitas slalu menjadi tagline di tiap agenda 5 tahunan dikarenakan telah menjadi domain demokrasi elektoral di Indonesia dimana harapan output yang tercipta dari tagline tersebut adalah demokrasi yang sehat dan penciptaan pemimpin yang berkualitas.
Terlepas dari harapan keberlangsungan pesta demokrasi di Indonesia yang berintegritas dan berkualitas, dalam lima kali penyelenggaraan Pemilu di Indonesia tidak sedikit terjadi kejanggalan dan penyimpangan yang seakan-akan slalu membersamai perjalanan kontestasi Pemilu itu sendiri.
Berbicara kejanggalan dan penyimpangan dalam pemilu, lembaga penyelenggara pemilu sering menjadi titik kambing hitam ketidakpuasan kekalahan aktor politik dan para relawan pendukung kontestan Pemilu yang dimana independensi slalu disinggung dalam setiap perhelatan 5 tahunan ini.
Sebagai lembaga independen, penyelenggara pemilu sudah sepatutnya menjaga Independensinya sesuai nomenklatur sebuah lembaga yang independen dan sebagai poros terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia.
Akan tetapi, ketidakjelasan kedudukan cabang kekuasaan yang disebutkan oleh Montesquieu membuat lembaga penyelenggara Pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP kian sering mendapatkan intervensi dari cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang menimbulkan tergerusnya independensi dan pada akhirnya menjadi salah satu faktor dari yang menghadirkan kejanggalan dan penyimpangan yang terjadi di medan pertempuran elektoral dewasa ini.
Melihat pernyataan diatas, perlukah hadirnya Quadra Politica sebagai cabang kekuasaan sendiri bagi lembaga penyelenggara Pemilu dalam menanggulangi kejanggalan hingga penyimpangan yang terjadi dalam Pemilu di Indonesia?
Sebagaimana kita ketahui bahwa pintu masuk kejanggalan hingga penyimpangan sering disinyalir dimulai dari KPU dan Bawaslu dikarenakan ketidaksetaraan cabang kekuasaan menimbulkan “Cawe- Cawe” dari cabang kekuasaan lain dalam penyelenggaraan Pemilu.
Anomali Penyelenggara Pemilu
Anomali dimaknai dengan keadaan kejanggalan atau penyimpangan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti kondisi seharusnya.
Pertempuran elektoral dekade ini telah menampilkan sebuah anomali bukan hanya oleh para aktor politik akan tetapi juga oleh penyelenggara pemilu dari dimulainya prosesi pemilu hingga saat ini.
Fenomena-fenomena yang muncul di permukaan mendeskripsikan bahwa dugaan distorsi politik bukan hanya ada pada kontestan politik akan tetapi juga pada perilaku oknum penyelenggara pemilu menciptakan kejanggalan tersendiri pada setiap pemilu.
Titik sorot timbul dari penyelenggara pemilu melihat kondisi medan pertempuran yang kian kompleks juga telah menghadirkan suasana ketegangan kebatinan pada anggota KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi bagaimana independensi, integritas, dan kredibilitas dipertaruhkan selaku penyelenggara, pengadil, dan juga penentu kontestasi pemilu.
Disamping itu, integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu kian dipertanyakan melihat anomali yang terjadi dalam berbagai macam kejadian politik dari segi kebijakan penyelenggara hingga perilaku oknum penyelenggara dalam berlangsungnya penyelenggaraan pemilu dari petinggi hingga ke tataran akar rumput penyelenggara tidak sedikit telah menimbulkan kegaduhan di dalam kolam politik Indonesia.
Menurut hemat penulis, anomali yang terjadi pada setiap agenda Pemilu di Indonesia merupakan isi lama dengan sampul baru bagaimana tatanan problematika subtansi berkaitan dengan dugaan penggelembungan suara KPU dan dugaan ketumpulan Bawaslu pada ranah pengawasan Pemilu.
Jika kita tengok kembali pada Pemilu 2024 ini, anomali yang terjadi di tubuh KPU yaitu terkait problematika sirekap KPU yang dimana tujuan awal diberlakukannya kebijakan ini sebagai alat bantu agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengawalan suara demi terciptanya transparansi dalam pemilu malah menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat.
Bahwa grafik angka perolehan suara tidak ditampilkan kembali akibat ketidakakuratan sebagian kecil hasil pembacaan sirekap telah memunculkan polemik dan bahkan disinformasi atas proses rekapitulasi perolehan suara peserta pemilu.
Ditambah lagi dengan dugaan suap menyuap antara kontestan pemilu dengan komisioner KPU yang terjadi diberbagi daerah di Indonesia salah satu contoh dugaan suap yang melibatkan salah satu komisioner KPU Bandar Lampung dengan calon legislatif kota Bandar Lampung dan dugaan penggelembungan suara lainnya.
Kenaikan honor Bawaslu yang dilakukan Presiden Jokowi di dipenghujung pemilihan menimbulkan pertanyaan besar di berbagai kalangan masyarakat.
Hal menimbulkan tak sedikit kekeruhan di masyarakat ditambah dengan cenderung tebang pilihnya pengeksekusian pelanggaran pemilu yang terjadi di lapangan dan kian gagapnya Bawaslu RI dalam mengeksekusi pelanggaran yang dilakukan oleh tim kampanye dan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada sebelum dan periode kampanye telah mendelegitimasi ketumpulan Bawaslu.
Hal ini bukan tanpa sebab, proses rekrutmen anggota Bawaslu RI dan KPU menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur melalui tim seleksi yang ditetapkan oleh presiden membantu presiden dalam menetapkan anggota KPU RI begitupun halnya dengan anggota Bawaslu RI dan juga ada dugaan rekomendasi dari partai politik terhadap calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI menjadi dilematik tersendiri bagaimana jika terpilih bakal terjadi politik balas budi yang dapat mengakibatkan hilangnya independensi dan kredibilitas anggota KPU dan Bawaslu.
Restrukturisasi Kelembagaan Pemilu
Melihat kondisi diatas, bahwa perlu adanya restrukturisasi lembaga penyelenggara pemilu dalam hal kejelasan kedudukan cabang kekuasaan, struktur hukum, perekrutan anggota penyelenggara, dan operasional untuk mempersempit ruang kejanggalan dan penyimpangan dalam Pemilu di Indonesia.
Sebagai landasan analisis yang tepat, dalam memadankan dan memposisikan konstruksi teoritis dalam sistem ketatanegaraan penulis menyandingkan sistem ketatanegaraan Negara Amerika Serikat yang secara konseptual terdapat kemiripan dengan sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.
Maka dari itu, penulis mengadopsi teori yang dikemukakan Bruce Ackerman dalam The New Sparation Of Power (Pemisahaan Kekuasaan Baru) menyatakan sistem ketatanegaraan Amerika Serikat setidaknya terdiri dari lima cabang; Dewan Perwakilan, Senat, Presiden, Mahkamah Agung, dan Lembaga Independen.
Secara fungsional poros-poros cabang kekuasaan yang diuraikan dalam teori ini adalah legislatif (Dewan Perwakilan dan Senat), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), dan komisi negara independen (Bank Sentral).
Dan diperkuat kembali dengan teori yang dikemukakan Yves Meny dan Andrew Knapp dalam The Fourth Branch Of The Government (Cabang Kekuasaan Keempat) yang menyatakan lembaga-lembaga regulator dan pengawas merupakan sebuah tipe baru dari administrasi otonom yang telah berkembang pesat di Amerika Serikat, dimana disebut sebagai cabang kekuasaan keempat tanpa kepala dari pemerintahan federal.
Sebagaimana memiliki kewenangan yang utuh dan tugas-tugas otonom yang bersifat regulatif dan administrasi dimiliki oleh lembaga independen dalam hal ini akan terciptanya kesetaraan cabang kekuasaan lembaga independen di samping cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang akan menghadirkan efektivitas dan efisiensi dalam melakukan penyelenggaran negara.
Menurut perspektif sederhana penulis, mengacu pada teori diatas sistem ketatanegaraan di Indonesia wajib melangkah lebih jauh atau membuat gebrakan baru dari trias politica menuju quadra politica atau cabang kekuasaan keempat dimana penyelenggara pemilu wajib memiliki kamarnya sendiri agar mencegah terjadinya terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan dalam hal ini eksekutif dan konflik of interest yang merugikan kepentingan umum.
Kejelasan kedudukan dan independensi bukan sekedar narasi semata sebagaimana yang dimaksud bahwa penyelenggara harus ditempatkan pada sistem ketatanegaraan cabang kekuasaan sendiri disamping cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif dan dimana cabang kekuasaan keempat dalam lah ini lembaga penyelenggara Pemilu bergerak tanpa campur tangan kepala pemerintahan walaupun Indonesia menganut sistem presidensial.
Hal ini bertujuan agar lembaga penyelenggara pemilu memiliki complete power dan terhindar dari intervensi pihak manapun.
Penulis: Ragil Jaya Tamara, S.H.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung