Opini

Manifesto Sengketa Pemilu 2024

×

Manifesto Sengketa Pemilu 2024

Sebarkan artikel ini
Manifesto Sengketa Pemilu 2024
Ragil Jaya Tamara, S.H,.Foto; Istimewa

Potensinews.idManifesto sengketa Pemilu 2024 harus berdasar kepastian hukum.

Tanggal 20 Maret 2024 menjadi waktu yang sangat krusial dari serangkain panjang prosesi Pemilu bagi rakyat dan kontestan politik dalam penentuan hasil rekapitulasi suara Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) selaku penyelenggara Pemilu sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ”Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap, dan Mandiri telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara dengan kemenangan yang diraih oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dengan presentase 58% (96.214.691 suara).

Diikuti Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang meraih 24,55% (40.971.906 suara) dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan 16,45% (27.040.878 suara) dari total keseluruhan suara sah nasional sebanyak 164.227.475. 

Kemenangan satu putaran telah diraih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dengan persentase 58% di 36 dari 38 Provinsi di Indonesia.

Jikalau melihat syarat pemilihan presiden yang telah memenuhi ambang batas satu putaran menurut Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara setiap provinsi yang tersebar dilebih dari ½ (setengah) jumlah Provinsi di Indonesia.

Kondisi tersebut tidak semata-mata menjadi akhir dari serangkaian Pemilu kali ini,  bagaimana manifesto sengketa dari paslon 01 Anies-Muhaimin dan 03 Ganjar-Mahfud terkait pengumuman penentuan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dilakukan KPU RI bahwa akan membawa hasil ini ke ranah Mahkamah Konstitusi. 

Manifesto menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai dengan pernyataan suatu kelompok secara terbuka dalam tujuan yang bernuansa politik.

Hal ini dikarenakan banyak terjadi dugaan kecurangan terindikasi terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu. 

Baca Juga:  Lampung Tegaskan Pilihan: Sorotan Debat Cawapres 2024

Mengacu pada pernyataan diatas, penulis akan mengajak dalam melihat berjalannya dinamika sengketa pilpres (pemilihan presiden) dan sebagai peluru terakhir pertempuran elektoral  dewasa ini.

Menuju Mahkamah Konstitusi

Dinamika perpolitikan di Indonesia terkait Pemilu 2024 kian menuju puncaknya, ketika mendekati dan pasca penentuan hasil rekapitulasi suara oleh KPU RI terjadi manuver-manuver bawah tanah antar kontestan politik dengan saling rayu satu sama lain.

Hal ini dibuktikan dengan cenderung abstain nya PPP dan Nasdem perihal ide Hak Angket DPR dalam upaya membuka dugaan kecurangan yang pada akhirnya hilang tak ada kabar kelanjutannya. 

Belum lagi ucapan selamat kepada paslon 02 Prabowo-Gibran oleh Ketua Nasdem Surya Paloh yang notabene tergabung dalam Koalisi Perubahan pengusung Anies-Muhaimin telah disinyalir melanjutkan obrolan yang pernah dilakukan di Kertanegara jauh sebelum Pemilu dimulai. 

Disamping itu, Isu terdapat dua paksi besar yang di duga memiliki pandangan yang berbeda di PDI-P pun terasa ketika Jalan Sunyi Ibu Ketua Umum Megawati Soekarno Putri yang dideskripsikan sedang melakukan kontemplasi melihat kemenangan yang diraih pada tataran pemilihan legislatif berbanding terbalik dengan kekalahan di pemilihan presiden.

Melihat kondisi tersebut, paslon 01 Anies-Muhaimin dan paslon 03 Ganjar-Mahfud tidak terpengaruh oleh kejadian politik terhadap goncangan-goncang yang terjadi di tubuh masing-masing koalisi yang seakan-akan mengindahkan dengan tetap fokus mengajukan nota keberatan terkait hasil pemilihan presiden ke ranah Mahkamah Konstitusi. 

Dimana merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap pasangan calon sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 475 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

Sebagaimana Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menjadi tempat mengadu nasib dalam laporan-laporan yang akan disidangkan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) jikalau terdapat kecurangan yang terjadi di dalam Pemilu. 

Baca Juga:  Pilkada: Fenomena Kotak Kosong dan Tantangan Politik Praktis

Putusan Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan Asas Erga Omnes bersifat final dan mengikat menurut Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadikan pelabuhan terakhir dalam memasukan peluru pertempuran elektoral kali ini. 

Jikalau berbicara terkait sengketa pilpres, persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) bukan hanya dilaksanakan oleh paslon 01 Anies-Muhaimin, paslon 03 Ganjar-Mahfud sebagai pemohon, dan Hakim Mahkamah Konstitusi. 

Akan tetapi, juga dengan KPU sebagai termohon, Bawaslu sebagai pemberi keterangan, dan paslon 02 Prabowo-Gibran yang berkepentingan terhadap permohonan yang diajukan oleh pemohon sebagai pihak terkait sebagai mana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Peluru Terakhir

Dalam tenggang waktu 3 hari pasca penentuan yang ditetapkan oleh KPU RI, paslon 01 Anies-Muhaimin dan 03 Ganjar-Mahfud yang menyatakan manifesto sengketa dalam pemilu 2024 telah mendaftarkan pengajuan permohonan hasil perselisihan pemilihan presiden yang nantinya akan disidangkan setelah melewati proses prosedural di Mahkamah Konstitusi dengan harapan kalau terbukti terjadi kecurangan meminta agar pemilu presiden dan wakil presiden diulang hingga diskualifikasi terhadap paslon terpilih. 

Konferensi pers yang dilakukan TPN Ganjar-Mahfud pada 21 Maret 2024, melalui Ahmad Muzaki selaku Wakil Direktur Kedeputian Hukum menyatakan “telah membawa 465 bukti laporan yang berisikan 208 halaman dengan menggandeng 76 pengacara yang tergabung dalam Kedeputian Hukum TPN Ganjar-Mahfud dan telah mempersiapkan 10 saksi ahli dalam upaya membuktikan dugaan kecurangan Pemilu presiden dan wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi.

Begitupun halnya dengan Timnas AMIN, melalui Arief Yusuf Amir selaku Ketua Tim Hukum AMIN menyatakan telah mendaftarkan pengajuan permohonan dengan membawa bukti-bukti yang lengkap dan telah mempersiapkan saksi-saksi dengan matang. 

Berbeda halnya dengan Tim Hukum Prabowo-Gibran yang dipimpin Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku pihak terkait yang menanggapi permohonan dari tim hukum paslon 01 dan 03 menyatakan semua yang didalilkan pemohon, baik Anies-Muhaimin dan Ganjar Mahfud nanti akan kami jawab secara resmi di persidangan. Kami telah menyusun argumentasi hukum untuk mematahkan argumentasi dari kedua pemohon.

Baca Juga:  Sekelumit Cerita PASAR BARU Jakarta

Yang menjadi atensi besar pada tahapan ini adalah bagaimana kredibilitas dan integritas para Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan hasil dari serangkain persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang dimana menjadi dilematik ketika sudah kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi belum lama ini telah dirundung dugaan masuk angin ketika Ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya Prof. Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik yang mengakibatkan pemecatan sebagai ketua Mahkamah Konstitusi pada dirinya. 

Disisi lain, Ketua KPU RI Hasim Ashari selaku pihak termohon telah dikenakan sanksi oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) terkait 3 pelanggaran yang dilakukan yakni terkait kedekatannya secara pribadi dengan tersangka kasus korupsi Ketua Umum Republik Satu Hasnaeni Moein, yang kedua karena aturan soal keterwakilan caleg perempuan yang bertentangan dengan UU Pemilu, dan dianggap tidak memberikan kepastian hukum lantaran menunda revisi syarat usia capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 ketika pendaftaran sudah berlangsung.

Jikalau melihat secara historikal, bahwa sengketa pilpres yang naik ke ranah Mahkamah Konstitusi dari tahun 2004 hingga sengketa pilpres tahun 2019 belum pernah satukalipun Mahkamah konstitusi mengabulkan gugatan pemohon dan slalu berakhir pada putusan penolakan terhadap gugatan sengketa pilpres.

Manifesto Sengketa Pemilu 2024 

Menurut hemat penulis, terlepas dari dinamika, dilema, dan historis yang ada, terkait dengan manifesto yang terjadi sudah sepatutnya para Hakim Mahkamah Konstitusi melalui keyakinan dengan hati nurani yang nantinya akan memeriksa dan mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilu harus berdasar kepastian hukum, keadilan, dan tanpa dipengaruhi oleh siapapun. 

Putusan Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan Asas Erga Omnes bersifat final dan mengikat dengan tidak ada upaya hukum lainnya, menggugah pikiran penulis hingga menafsirkan ini adalah putusan suci yang dimana sebagai a ticket for entry to a civilized nation (tiket masuk suatu bangsa yang beradab).

Oleh Ragil Jaya Tamara, S.H

Alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung