Artikel

Fenomena Politik Dagang Sapi dalam Pilkada di Indonesia

×

Fenomena Politik Dagang Sapi dalam Pilkada di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Fenomena Politik Dagang Sapi dalam Pilkada di Indonesia
Hidayat Kampai, Alumni Magister Hukum Kenegaraan Universitas Lampung. Foto: Istimewa

Potensinews.id – Fenomena politik dagang sapi dalam Pilkada di Indonesia.

Pilkada di Indonesia, yang seharusnya menjadi ajang demokratis untuk menentukan pemimpin daerah, semakin hari semakin kehilangan daya tarik dan esensi demokrasinya.

Fenomena yang terjadi saat ini sering diibaratkan seperti “politik dagang sapi,” di mana proses pencalonan dan pemilihan lebih didominasi oleh transaksi politik yang menyerupai jual beli sapi, di mana segala sesuatunya dapat dinegosiasikan dan diperjualbelikan.

Dalam konteks ini, pencalonan kandidat sering kali bukan didasarkan pada kapabilitas atau rekam jejak calon tersebut, melainkan lebih kepada kesepakatan-kesepakatan politik yang terkesan transaksional dan pragmatis.

Fenomena ini tercermin dalam praktik tukar-menukar dukungan politik di antara partai-partai.

Baca Juga:  Kantin Uye Perpustakaan Tinggal Kenangan: Tempat Nongkrong Paling Ngangenin

Seorang calon yang tidak mendapat dukungan dari Partai A, dengan mudah dapat berpindah dan diusung oleh Partai B, seolah-olah proses ini hanya sebatas mencari kendaraan politik yang bersedia membawa mereka maju dalam kontestasi.

Di sini, kaderisasi partai, yang seharusnya menjadi proses penting untuk membangun kualitas dan integritas calon pemimpin, seakan-akan terabaikan. Yang menjadi prioritas adalah adanya kandidat yang dapat diusung untuk menghindari kemenangan calon “kotak kosong,” bukan karena kualitas kepemimpinan yang dimiliki.

Praktik “politik dagang sapi” ini semakin marak dengan keterlibatan banyak “calo politik,” individu atau kelompok yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi-transaksi politik tersebut.

Mereka seringkali menjadi penghubung antara calon dan partai atau antara partai-partai yang ingin melakukan kesepakatan politik.

Baca Juga:  Mengenang Alvin Lim, Pejuang Keadilan yang Tak Lekang oleh Waktu

Akibatnya, proses pilkada lebih terkesan sebagai arena transaksi kekuasaan daripada proses demokrasi yang sehat.

Hal ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia bukan hanya pada aspek formal prosedural, tetapi juga pada mentalitas politik yang lebih mementingkan kepentingan pragmatis sesaat daripada upaya membangun sistem politik yang berintegritas dan berkelanjutan.

 

Artikel ini ditulis oleh Hidayat Kampai

Alumni Magister Hukum Kenegaraan Universitas Lampung