Opini

Hilirisasi Tanpa Keadilan Sosial: Ancaman Baru bagi Hutan dan Masyarakat Adat

×

Hilirisasi Tanpa Keadilan Sosial: Ancaman Baru bagi Hutan dan Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
Hilirisasi Tanpa Keadilan Sosial: Ancaman Baru bagi Hutan dan Masyarakat Adat
Naufal Alman Widodo. | Ist

Potensinews.id – Hilirisasi tanpa keadilan sosial, ancaman baru bagi hutan dan masyarakat adat.

Indonesia saat ini tengah gencar menggulirkan agenda hilirisasi sumber daya alam sebagai strategi percepatan pembangunan ekonomi nasional.

Dalam berbagai pidato kenegaraan, para pemimpin bangsa meyakinkan publik bahwa hilirisasi adalah jalan emas menuju kemandirian ekonomi dan kemakmuran rakyat.

Nikel, batubara, bauksit, hingga hasil hutan menjadi komoditas unggulan yang didorong untuk diproses di dalam negeri demi menciptakan nilai tambah dan serapan tenaga kerja.

Namun di balik narasi kemajuan itu, kita perlu menyoal: sejauh mana proyek hilirisasi ini benar-benar memperhatikan dimensi keadilan sosial, khususnya bagi masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan sumber daya alam tersebut?

Jika kilas balik sejarah pengelolaan hutan di Indonesia, kerusakan ekologis bukan sekadar akibat perambahan liar atau ladang berpindah masyarakat adat seperti yang kerap didalihkan.

Fakta menunjukkan, sejak era Orde Baru hingga kini, kerusakan hutan terbesar justru ditimbulkan oleh kebijakan negara yang mempermudah korporasi besar mengakses kawasan hutan lindung dan produksi demi kepentingan industri ekstraktif.

Legalitas diberikan melalui berbagai regulasi yang bernuansa utilitarian, yakni lebih mengutamakan kemanfaatan ekonomi mayoritas atau tepatnya oligarki meskipun harus mengorbankan masyarakat adat serta ekosistem hutan.

Baca Juga:  Nasib Buruh Singkong Menggantung, Pemerintah Diminta Segera Intervensi

Konsep utilitarianisme dalam pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana dijelaskan dalam kajian hukum lingkungan yang ditulis Aminah (2014), telah menjadi moral politik negara yang membenarkan dikorbankannya kelompok yang lemah dan tak populer demi keuntungan mayoritas.

Problemnya, paham ini tak menjamin hadirnya keadilan. Dalam konteks Indonesia, keadilan itu kerap diterjemahkan sebatas angka PDB dan investasi, tanpa menyentuh aspek kesejahteraan komunitas adat yang justru paling terdampak.

Hari ini, situasi itu kian diperparah oleh gelombang hilirisasi. Kawasan hutan di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua terus dikapling untuk pembangunan smelter nikel, pabrik pengolahan mineral, serta perkebunan skala besar.

Ironisnya, masyarakat adat yang sejak dulu menjaga kawasan itu terpinggirkan tanpa akses setara dalam menentukan nasib tanah ulayat mereka.

Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan industri kerap terjadi tanpa prosedur konsultasi yang layak dan kompensasi yang memadai. Inilah wujud ketimpangan ekologis sekaligus ketidakadilan prosedural yang berulang.

Masyarakat adat yang pada hakikatnya banyak yang menjaga nilai-nilai budayanya dari pengaruh globalisasi, maka dengan adanya hilirisasi mengakibatkan terusiknya mereka di tempat tinggalnya sendiri.

Baca Juga:  Mengingat Hari TBC Dunia Sang Pembunuh 34 Juta Mimpi

Nilai-nilai yang menjadi landasan daripada budaya inilah yang banyak melahirkan mitos atau kepercayaan yang menciptakan gaps antara masyarakat adat dan dunia luar.

Proses penutupan diri daripada globalisasi ini bukan tanpa sebab, akan tetapi masyarakat adat sudah memiliki sistem yang teratur baik secara sistem ekonomi maupub secara konstitusional yang disebut sebagai “Konstitusi Nusantara”.

Agenda hilirisasi seharusnya tidak semata dimaknai sebagai upaya industrialisasi berbasis sumber daya alam, melainkan juga momentum koreksi terhadap relasi eksploitatif negara dan korporasi atas masyarakat adat. Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Frasa ‘rakyat’ di sini tidak boleh dipersempit sebatas pemilik modal, pejabat, atau masyarakat urban saja. Masyarakat adat di wilayah pedalaman, pesisir, dan kawasan hutan adalah bagian integral dari bangsa ini, yang hak hidupnya dijamin oleh konstitusi.

Saya percaya bahwa hilirisasi yang sejati adalah hilirisasi yang mengedepankan prinsip keadilan ekologis dan keadilan sosial. Sebagaimana dikemukakan Sony Keraf dalam etika lingkungannya, keadilan ekologis mensyaratkan adanya distribusi beban dan manfaat yang proporsional, jaminan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan, serta perlindungan bagi kelompok paling rentan dalam hal ini masyarakat adat.

Baca Juga:  Menyambut Tangan Bung Republik dalam Gelap

Karena itu, saya menyerukan agar pemerintah segera melakukan evaluasi serius terhadap proyek-proyek hilirisasi yang saat ini berjalan. Peta wilayah adat harus dijadikan basis utama dalam perizinan investasi.

Setiap kegiatan yang berdampak ekologis wajib disertai mekanisme konsultasi bebas dan di muka (free, prior and informed consent) serta kompensasi yang layak. Selain itu, sebagian keuntungan industri hilir harus didedikasikan bagi program pemberdayaan ekonomi masyarakat adat dan restorasi lingkungan.

Hilirisasi tanpa keadilan sosial bukanlah jalan menuju kemakmuran bangsa, melainkan bentuk baru penjajahan atas tanah sendiri.

Sebagai kader intelektual Muslim, saya meyakini bahwa pembangunan yang tak berpihak pada kaum lemah adalah bentuk kedzaliman struktural. Sudah saatnya bangsa ini keluar dari logika pembangunan utilitarian yang sempit menuju paradigma pembangunan berkeadilan.

Karena sesungguhnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga ekosistemnya dan memuliakan semua anak bangsanya, tanpa terkecuali.

Oleh: Naufal Alman Widodo