Potensinews.id – Tolak arus global, Lampung dorong Perda Anti-LGBT demi ketahanan sosial.
Provinsi Lampung tengah bergerak untuk memperkuat ketahanan moral dan sosial masyarakatnya.
Masyarakat Lampung Anti LGBT mendesak penerbitan Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan Perilaku Seksual Menyimpang sebagai respons terhadap gelombang permisif global.
Misbahul Anam, M.H., Koordinator Bidang Hukum Masyarakat Lampung Anti LGBT, menegaskan bahwa inisiatif ini bukan untuk membenci individu, melainkan upaya menjaga nilai luhur dan norma sosial yang telah menjadi fondasi bangsa.
“Ini bukan perburuan manusia, tapi pembentengan nilai. LGBT bukan sekadar isu privat, melainkan ancaman sistemik terhadap moral publik,” kata Misbahul pada Senin, 21 Juli 2025.
Menurut Misbahul, perilaku LGBT kini telah menjadi arus balik peradaban dan tidak lagi bergerak diam-diam.
Ia menunjuk beberapa fakta di paruh pertama tahun 2025 sebagai “alarm sosial”, termasuk adanya pesta sesama jenis di hotel mewah, grup digital dengan puluhan ribu anggota, serta data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan ratusan kasus HIV/AIDS akibat Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Lampung.
“Ini fakta, bukan fiksi. Kita butuh kebijakan yang tegas. Perda menjadi langkah preventif sebelum semuanya terlambat,” ujarnya.
Misbahul menjelaskan bahwa secara yuridis, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan lokal sesuai dengan nilai Pancasila dan norma sosial masyarakat.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memperkuat hak daerah dalam membentuk perda.
Lebih lanjut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru (UU No. 1 Tahun 2023) mengakui keberadaan living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
“Di Lampung, secara sosial, budaya, dan agama, perilaku LGBT tidak pernah diterima. Maka Perda bukan pelanggaran HAM, tapi pelaksanaan aspirasi masyarakat,” tegasnya.
Masyarakat Lampung dikenal religius dan menjunjung tinggi tradisi.
Menurut Misbahul, propaganda LGBT mengancam nilai-nilai dasar keluarga, melemahkan semangat pernikahan, dan bahkan dapat menggerus fungsi reproduksi serta struktur sosial.
“Ini bukan sekadar moral privat. Ini soal ketahanan bangsa. Agama mana pun, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, tidak ada yang membenarkan perilaku LGBT,” ujarnya.
Ia merujuk pada Al-Qur’an yang menyinggung hukuman bagi kaum Nabi Luth atas perilaku homoseksual.
“Perda ini adalah bentuk kepatuhan spiritual sekaligus langkah perlindungan sosial.”
Masyarakat Lampung Anti LGBT menolak anggapan bahwa Perda ini akan mendiskriminasi individu. Sebaliknya, mereka ingin menyediakan ruang pemulihan, edukasi, dan pencegahan.
“Perda ini bukan alat penghakiman. Ini adalah pagar agar ruang publik tidak dibanjiri propaganda menyimpang. Kami ingin generasi muda tetap memiliki arah yang jelas,” tegas Misbahul.
Jika Perda ini berhasil diterbitkan, Misbahul berharap Lampung dapat menjadi pelopor benteng moralitas di Sumatera.
“Kita bisa menunjukkan bahwa daerah bisa tetap maju secara ekonomi tanpa mengorbankan akar budayanya,” ujarnya.
Misbahul menutup pernyataannya dengan harapan bahwa langkah ini akan dicatat sejarah.
“Saat dunia menormalisasi penyimpangan, Lampung memilih berdiri di sisi akhlak dan nilai. Kami ingin kelak anak cucu berkata, orang tua kami telah bertindak dengan adil, beradab, dan takut kepada Tuhan,” tandasnya.