Potensinews.id – Jurnalis Banten dianiaya, demokrasi kita sedang sakit.
Insiden penganiayaan terhadap sejumlah jurnalis di Serang, Banten, saat meliput inspeksi mendadak Kementerian Lingkungan Hidup di PT Genesis Regeneration Smelting, bukan sekadar peristiwa kriminal biasa.
Ia adalah tamparan keras bagi wajah demokrasi kita. Sebab, di balik kamera, pena, dan catatan, para jurnalis sejatinya adalah mata dan telinga publik yang sedang bekerja menjalankan amanat konstitusi, menyampaikan informasi yang benar dan jujur kepada masyarakat.
Apa yang dialami oleh Yusuf (Radar Banten), Rifky (Tribun Banten), Rasyid (BantenNews.co.id), Sayuti (SCTV), Avit (Tempo), Depi (Antara), Imron (Banten TV), Hendi (Jawa Pos TV), Iqbal (Detik), dan Angga (Antara Foto) pada Kamis, 21 Agustus 2025 adalah bentuk nyata represi yang membahayakan kebebasan pers.
Mereka bukan sedang berbuat kriminal, bukan pula mengganggu keamanan negara. Mereka hanya melaksanakan tugas jurnalistik, meliput sidak kementerian di sebuah perusahaan yang sedang disorot terkait isu lingkungan.
Sayangnya, alih-alih dihormati, mereka justru diperlakukan seperti musuh. Dihadang, dihalang-halangi, bahkan dipukuli oleh pihak keamanan perusahaan, ormas, dan yang paling mencoreng, oknum aparat.
Kita tidak boleh lupa, kebebasan pers adalah salah satu pilar penting demokrasi. Tanpa pers yang bebas, publik akan buta terhadap praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum, maupun kerusakan lingkungan yang sering ditutupi rapat-rapat.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan, wartawan dalam melaksanakan profesinya mendapat perlindungan hukum. Itu artinya, menghalangi kerja jurnalis bukan hanya melanggar etika, tetapi juga kejahatan hukum.
Namun, ironisnya, kasus penganiayaan terhadap jurnalis bukan kali ini saja terjadi. Hampir setiap tahun, catatan kekerasan terhadap wartawan selalu ada: diusir, diintimidasi, disensor, dipukul, bahkan ada yang kehilangan nyawa.
Pertanyaannya, sampai kapan pers harus bekerja dalam bayang-bayang kekerasan?
Kejadian di PT Genesis Regeneration Smelting memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: ada yang hendak ditutupi. Ketakutan pihak perusahaan terhadap liputan media adalah tanda kuat bahwa ada hal-hal yang tidak ingin diketahui publik.
Inilah sebabnya jurnalis harus hadir untuk membuka tabir gelap yang disembunyikan. Publik berhak tahu apakah perusahaan pengolah timbal itu benar-benar mematuhi aturan lingkungan hidup atau justru merusak alam dan mengorbankan masyarakat sekitar. Menutup akses media sama saja dengan menutup hak publik atas informasi.
Kasus ini menjadi ujian nyata bagi negara. Polisi tidak boleh sekadar menjadi penonton apalagi justru terlibat.
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan lembaga perlindungan pers harus turun tangan tegas. Penganiayaan terhadap wartawan harus diusut sampai tuntas, siapa pun pelakunya, dari oknum brimob, pihak keamanan perusahaan, hingga ormas yang terlibat.
Negara tidak boleh kalah oleh arogansi korporasi dan ormas bayaran. Sebab, jika jurnalis terus dibiarkan dipukul, diintimidasi, dan dihalang-halangi, maka sebenarnya yang dipukul adalah demokrasi itu sendiri.
Peristiwa ini juga harus menjadi momentum bagi sesama jurnalis untuk memperkuat solidaritas. Wartawan tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian di lapangan. Organisasi profesi pers, komunitas wartawan, hingga masyarakat sipil harus bersatu menyuarakan perlindungan terhadap kerja jurnalistik.
Ingatlah, kebebasan pers bukan hanya kepentingan wartawan. Ia adalah kepentingan semua warga negara. Sebab, lewat pers yang bebaslah publik bisa mengawasi kekuasaan, mengontrol korporasi, dan memastikan kebenaran tetap hidup.
Kita tidak boleh diam. Negara harus hadir, hukum harus ditegakkan, dan masyarakat harus peduli. Sebab, membela jurnalis bukan sekadar membela profesi, tetapi membela kebenaran, keadilan, dan masa depan demokrasi Indonesia.
Oleh: Junaidi Ismail, SH
Ketua Umum Poros Wartawan Lampung