Opini

Kesenjangan Antara Hukum dan Politik: Dimana Hukum Dijadikan Sebagai Pedomani Atau Alat Kekuasaan?

×

Kesenjangan Antara Hukum dan Politik: Dimana Hukum Dijadikan Sebagai Pedomani Atau Alat Kekuasaan?

Sebarkan artikel ini
Kesenjangan Antara Hukum dan Politik: Dimana Hukum Dijadikan Sebagai Pedomani Atau Alat Kekuasaan?
Gambar : Ilustrasi
Potensinews.id – Belakangan ini hukum kesetimbangan di indonesia sering kali menjadi sorotan publik.
Banyak kasus ketidak adilan bagi rakyat biasa yang di mana kepentingan politik mempengaruhi proses hukum.
Hukum seharusnya menjadi pedoman dalam menjalankan kekuasaan, bukan alat untuk mempertahankannya.
Namun, dalam praktiknya, sering kali hukum dimanfaatkan oleh pihak berkuasa untuk melegitimasi kepentingan politik. Hal ini menciptakan kesenjangan antara idealisme keadilan dan realitas penegakan hukum yang tebang pilih.
Ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, kepercayaan masyarakat terhadap keadilan pun runtuh.
Contohnya kasus korupsi pejabat yang ditangani lebih lambat atau tidak tuntas dibanding kasus orang biasa.
Hukum yang seharusnya menjadi pedoman yang teguh, mengatur segala aspek kehidupan, agar terciptanya ketertiban akan kalah dengan kepentingan politik.
Hubungan antara hukum dan politik seharusnya harmonis, di mana hukum memberikan legalitas dan batasan bagi kekuasaan politik, sementara politik membuat hukum menjadi efektif.
Namun, di Indonesia, terjadi ketimpangan yang membuat hukum seringkali menjadi alat politik, terutama saat penegakan hukum dianggap diskriminatif dan dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Kesenjangan ini menciptakan ketidakpercayaan publik yang luas terhadap sistem hukum, melemahkan prinsip negara hukum, dan memperburuk ketidakstabilan sosial.
Menurut teori realisme memandang hukum tidak hanya sebagai teks atau aturan, tetapi juga sebagai praktik sosial yang dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan ekonomi.
Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh situasi politik. Kekuasaan politik dapat membuat penegakan hukum menjadi tidak efektif atau tidak adil, terutama dalam rezim otoriter.
Adanya kesenjangan antara hukum yang tertulis (hukum dalam undang-undang) dan hukum yang diterapkan oleh hakim atau penegak hukum, yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Kesenjangan antara hukum dan politik muncul ketika hukum tidak lagi berdiri sebagai pedoman keadilan, tetapi justru dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Dasarnya hukum harus menjadi pedoman tertinggi dalam kehidupan bernegara dan berfungsi mengatur, melindungi, dan menegakkan keadilan bagi seluruh warga tanpa pandang bulu.
Namun, dalam praktiknya politik sering memengaruhi penegakan hukum, sehingga keputusan hukum tidak lagi berdasarkan kebenaran objektif, melainkan kepentingan kekuasaan.
Untuk menutup kesenjangan ini,diperlukan sistem hukum yang independen, penegak hukum yang berintegritas, serta masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya hukum.
Dengan demikian, hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan, melainkan pondasi keadilan dan demokrasi yang sejati.
Melihat kondisi tersebut, diperlukan adanya reformasi besar dalam sistem hukum. Pemerintah perlu memperkuat dan memperketat pengawasan kepada aparat penegak hukum serta memastikan tidak ada intervensi atau campur tangan dari pihak mana pun.
Keterbukaan secara transparan dalam proses hukum juga dirasa penting agar masyarakat bisa ikut mengawasi.
Selain itu, pendidikan moral dan integritas bagi calon aparat hukum harus diperkuat sejak dini. Jika semua pihak dapat bekerja sama dengan baik, hukum di Indonesia bisa menjadi lebih bersih dan akan benar-benar berpihak pada keadilan.
Oleh Annisa Valentina