Potensinews.id — Penyebaran hoaks di Indonesia semakin meresahkan. Di era digital seperti sekarang, berita bohong dapat menyebar dengan sangat cepat tanpa mengenal waktu dan tempat. Fenomena ini terutama marak di kalangan orang tua yang belum sepenuhnya memahami cara memverifikasi kebenaran informasi yang mereka terima.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 1.923 konten hoaks, berita bohong, dan informasi palsu yang berhasil diidentifikasi dan diklarifikasi. Namun, persoalan utama bukan hanya maraknya hoaks setiap tahun, melainkan rendahnya literasi digital masyarakat serta adanya ketimpangan dalam penegakan hukum terhadap kasus penyebaran hoaks.
Kita sering melihat masyarakat biasa yang kedapatan menyebarkan hoaks langsung diproses secara hukum, sementara mereka yang berasal dari kalangan berkuasa atau memiliki pengaruh kerap lolos dari jerat hukum. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hukum di Indonesia sudah benar-benar adil?
Padahal, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun dalam praktiknya, penegakan hukum sering kali terlihat tebang pilih. Hukum seakan kehilangan ketegasannya ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum pun semakin menurun.
Untuk mengatasi kesenjangan hukum ini, pemerintah perlu memperkuat pendidikan hukum dan literasi digital sejak dini agar masyarakat memahami hak serta kewajibannya di hadapan hukum. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang menyalahgunakan hukum, dan mampu membela diri berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Selain itu, penerapan teknologi digital dalam sistem peradilan sangat dibutuhkan agar proses hukum dapat diawasi secara transparan. Misalnya, melalui publikasi terbuka terhadap hasil sidang dan proses hukum di situs resmi pengadilan. Langkah ini dapat menekan praktik suap serta mencegah manipulasi dalam penegakan hukum.
Sebagai kesimpulan, ketimpangan hukum di Indonesia tidak boleh menjadi alat bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Hukum harus menjadi pelindung bagi seluruh rakyat, bukan senjata bagi pihak tertentu. Jika prinsip kesetaraan benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu, maka penegakan hukum terhadap kasus hoaks akan menjadi bukti nyata bahwa keadilan masih hidup di negeri ini.
Penulis: Adzkia Permata Tsani
Mahasiswi UIN Raden Intan Lampung
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendidikan Matematika












