Potensinews.id – Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan Ketua PWI Pusat, Akhmad Munir, bahwa penggunaan Artificial Intelligence (AI) oleh wartawan tidak boleh menghapus kewajiban verifikasi lapangan.
Teknologi boleh berkembang, tetapi prinsip dasar jurnalisme tak boleh ditinggalkan.
Di tengah derasnya arus digital, berita bisa ditulis dalam hitungan detik. Kalimat dapat disusun mesin, foto dapat diedit algoritma, bahkan opini publik bisa dibentuk oleh kecerdasan buatan.
Namun satu hal yang tetap tidak bisa digantikan yakni kehadiran wartawan di lapangan. Di situlah fakta disaring, dikonfirmasi, dan meminjam istilah Jakob Oetama, disucikan.
Verifikasi lapangan tidak bisa digantikan AI, sebab Tanpa akurasi, berita hanya menjadi cerita. Wartawan yang hadir langsung di lokasi dapat memastikan informasi benar adanya: apakah sumber valid, apakah data sesuai, apakah peristiwa terjadi seperti diberitakan. Akurasi inilah fondasi kredibilitas media.
Kita hidup di era post-truth. Foto direkayasa, narasi dipelintir, opini dikaburkan. AI bisa membantu membaca data, tetapi tidak bisa membedakan getaran emosi saksi mata, tekanan suasana, atau bahasa tubuh narasumber. Verifikasi lapangan membuat wartawan mampu membedakan fakta dari ilusi digital.
Lapangan selalu memberikan lebih dari sekadar data. Ada nuansa, aroma, ekspresi, dinamika hubungan antaraktor, kalimat yang tidak terucap, dan realitas sosial yang tidak tergambar di balik layar. Semua itu hanya bisa ditangkap oleh wartawan yang melihat, mendengar, dan merasakan langsung.
Wawancara via telepon bisa memberikan keterangan, tetapi observasi langsung memungkinkan wartawan memperkaya sudut pandang. Ada saksi yang tak tercatat, ada pihak yang belum tersentuh, ada suara publik yang baru terdengar ketika wartawan turun ke lokasi. Di sanalah berita menjadi utuh dan adil.
Kode Etik Jurnalistik Indonesia secara tegas mewajibkan wartawan melakukan verifikasi. AI hanyalah alat bantu. Tanggung jawab moral, etik, dan profesional tetap berada di pundak wartawan.
Dalam Pekan Pendidikan Wartawan Lampung yang digelar PWI Lampung di Balai Wartawan H. Solfian Akhmad, Senin (17/11/25), pesan itu diulang kembali. Acara yang dihadiri Ketua PWI Pusat Akhmad Munir, Ketua DPRD Provinsi Lampung H. Ahmad Giri Akbar, para pimpinan organisasi pers, PWI kabupaten/kota, pimpinan media, dan wartawan dari berbagai daerah itu mengangkat tema yang amat relevan, “Uji Integritas Wartawan di Tengah Arus Kecerdasan Buatan (AI).”
Munir menegaskan bahwa Pekan Pendidikan Wartawan bukan hanya kegiatan rutinitas, tetapi ikhtiar menjaga marwah dan martabat profesi. PWI, menurutnya, sejak awal kelahirannya mengandung DNA perjuangan kebangsaan. Wartawan bukan hanya penulis berita, mereka adalah pembawa obor peradaban.
Ia mengingatkan bahwa era disrupsi teknologi menghadirkan tantangan baru: post-truth, misinformasi, dan hoaks yang merusak ruang publik. Wartawan harus berada di barisan terdepan untuk melawan gelombang informasi sesat itu.
Di sinilah letak ujian terbesar integritas wartawan hari ini. Bukan hanya dalam keberanian menulis, tetapi dalam keteguhan menolak budaya copy-paste, menolak kemalasan intelektual, serta menolak godaan menggunakan AI tanpa proses verifikasi.
Munir mengutip pesan almarhum Jakob Oetama, “Wartawan sejati mensucikan fakta melalui observasi langsung.”
Kalimat ini adalah kompas moral bagi profesi jurnalisme. Sebuah pengingat bahwa berita bukan sekadar produk industri, tetapi amanat publik.
AI dapat membantu wartawan memperkaya riset, menyusun data, memetakan isu, bahkan memeriksa fakta awal. Tetapi AI tidak punya hati nurani. Ia tidak memahami etika. Ia tidak mengerti konsekuensi sosial dari sebuah kalimat.
Karenanya, wartawan tidak boleh menyerahkan pena kepada mesin.
AI harus dipakai secara cerdas, kritis, dan penuh tanggung jawab.
Teknologi boleh mempermudah pekerjaan, tetapi nilai jurnalisme tetap tumbuh dari lapangan.
Dalam dunia yang makin cepat dan makin bias, masyarakat membutuhkan wartawan yang bersih, jujur, dan berani menyuarakan kebenaran. Wartawan yang tidak sekadar mengutip, tetapi mengonfirmasi.
Wartawan yang tidak sekadar menyalin, tetapi menghadirkan perspektif.
Wartawan yang tidak sekadar menulis, tetapi memurnikan fakta.
AI bisa meniru gaya bahasa wartawan, tetapi tidak bisa meniru integritas wartawan. Masa depan jurnalisme bukan ditentukan teknologi, tetapi ditentukan oleh manusia yang menggunakannya. Wartawan yang turun ke lapangan, melihat dengan mata kepala sendiri, dan menuliskan kebenaran tanpa takut, merekalah benteng terakhir ruang publik yang sehat.
Dan selama wartawan masih menjunjung tinggi verifikasi lapangan, jurnalisme Indonesia akan tetap berdiri tegak, apa pun bentuk teknologi yang datang menghampiri.
Oleh: Junaidi Ismail, SH
Wartawan Utama – Dewan Pers












