Potensinews.id – Demokrasi sering dielu-elukan sebagai sistem terbaik yang pernah diciptakan manusia.
Ia digambarkan sebagai wadah aspirasi, tempat suara rakyat menjadi fondasi setiap kebijakan.
Di atas kertas, demokrasi tampak sempurna: rakyat memilih, wakil rakyat mewakili, dan kebijakan publik lahir dari kebutuhan publik.
Namun, realitas di lapangan membongkar wajah lain demokrasi wajah yang jauh dari ideal.
Berkali-kali kita menyaksikan parlemen yang disebut sebagai “wakil rakyat” justru melahirkan undang-undang yang ditolak rakyat sendiri.
Penolakan datang dari berbagai kalangan: buruh, mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, hingga kelompok sipil lainnya.
Tetapi sekeras apa pun suara itu menggema, keputusan tetap saja diketuk. Undang-undang tetap disahkan. Aspirasi publik kembali diabaikan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa slogan “kedaulatan di tangan rakyat” tidak lebih dari ornamen retoris yang menghias buku-buku teori politik. Ia terdengar manis, tetapi rapuh di hadapan kepentingan ekonomi, politik, dan oligarki kekuasaan.
Ulama Yordania, Syaikh Ahmad ad-Da’ur, dalam Naqdh al-Qânûn al-Madaniy, memberikan kritik yang sangat tajam terhadap konsep demokrasi. Ia menyebut bahwa frasa “rakyat adalah sumber kekuasaan” tak lebih dari imajinasi retoris.
Faktanya, kekuasaan legislatif berada di tangan para ahli hukum dan komite teknis, bukan di tangan rakyat.
Kekuasaan yudikatif pun pada praktiknya tidak independen sepenuhnya, melainkan bergerak dalam orbit pemerintah.
Sedangkan rakyat, dalam sistem ini, hanya diberi satu peran: memilih penguasa lalu setelah itu, menyerahkan segalanya kepada mereka.
Jika demikian kenyataannya, demokrasi memang hanya eksis sebagai teori. Ia tidak benar-benar turun menjadi realitas yang hidup dalam tubuh masyarakat.
Yang terjadi justru kontradiksi: sistem yang konon menjunjung rakyat, tetapi sering mengabaikan rakyat; sistem yang digadang-gadang menjamin kebebasan, namun dalam praktiknya membuka ruang bagi tirani mayoritas bahkan tirani elit.
Kita perlu jujur mengakui: demokrasi bukan sekadar punya kelemahan, tetapi memiliki cacat bawaan yang membuatnya berulang kali gagal mewujudkan klaim-klaim ideal yang ia janjikan.
Apakah ini berarti demokrasi tidak memiliki nilai sama sekali? Tidak selalu.
Tetapi jika demokrasi terus dipertahankan hanya sebagai simbol atau slogan tanpa perbaikan struktural yang nyata, maka kepercayaan publik akan semakin terkikis.
Dan ketika rakyat tidak lagi percaya pada sistem, di situlah krisis besar dimulai.
Pertanyaannya kini bukan lagi: Apakah demokrasi indah?
Namun: Apakah demokrasi benar-benar bekerja?
Dan lebih jauh lagi: Apakah demokrasi masih layak dianggap sebagai solusi?












