Potensinews.id – Budaya Sasak bukan sekadar simbol atau upacara adat. Ia adalah identitas hidup yang merangkum nilai agama, kesantunan, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Tetapi hari ini, di tengah derasnya arus modernitas, nilai-nilai luhur itu semakin sering tergerus oleh ego, gaya hidup, dan salah kaprah pemahaman generasi muda.
Nyongkolan yang dulunya merupakan ekspresi syukur dan penghormatan, kini kerap berubah menjadi tontonan hedon.
Tradisi yang seharusnya menghadirkan harmoni sosial berubah menjadi ajang euforia tanpa batas. Bukan adat yang salah, melainkan cara sebagian masyarakat terutamapemuda mempraktikkannya tanpa memahami makna filosofisnya.
Padahal, di balik setiap elemen budaya Sasak terkandung pesan moral. Sapuq mengajarkan ketundukan kepada Allah, lewet putu menasihati manusia untuk rendah hati, dan pola kehidupan sosial Sasak selalu berdiri di atas tiga pilar: etika (wirama), kesadaran diri (wirase), dan pengendalian diri (wirage). Nilai-nilai ini adalah pondasi yang membuat masyarakat Lombok dikenal sebagai masyarakat yang lurus, santun, dan beradab.
Tantangan kita hari ini adalah menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Pemuda harus menjadi garda terdepan, bukan sebagai pelaku kerusakan budaya, tetapi sebagai penjaga marwah adat. Ketika adat kehilangan ruhnya, maka hilang pula jati diri kita sebagai orang Sasak.
Sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemuda Inspirator NTB, saya menyerukan agar seluruh pemuda kembali belajar, memahami, dan menghormati warisan leluhur. Melestarikan budaya tidak berarti menolak modernitas—melainkan memastikan nilai luhur tetap hidup di tengah perubahan.
Sasak akan tetap berdiri tegak selama generasinya menjaga identitas.
Dan tugas itu ada di tangan kita hari ini.
Oleh: Haikal Firmansyah
Ketua Umum Asosiasi Pemuda Inspirator NTB












