Opini

Mengapa Banjir Sumatera Tak Ditetapkan Status Bencana Nasional?

×

Mengapa Banjir Sumatera Tak Ditetapkan Status Bencana Nasional?

Sebarkan artikel ini
Mengapa Banjir Sumatera Tak Ditetapkan Status Bencana Nasional?
Junaidi Ismail, S.H., Wartawan Utama. Foto: Ist

Potensinews.idBencana banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatera, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, mendorong pertanyaan publik yang sarat dimensi kemanusiaan dan kebijakan, mengapa pemerintah belum menetapkan status bencana nasional, padahal skala kerusakan, korban, dan dampak sosial-ekonomi memenuhi kategori bencana besar?

Pemerintah, melalui Menko PMK Pratikno, menyatakan bahwa penanganan yang dilakukan sudah bertaraf nasional, sehingga status khusus tersebut belum dianggap perlu.

Pernyataan ini tentu sah dalam logika administratif, tetapi tidak otomatis menjelaskan keseluruhan dinamika kebencanaan di lapangan.

Kesenjangan antara perspektif pemerintah pusat dan realitas yang dialami warga terdampak memunculkan perdebatan baru tentang sensitivitas negara terhadap dimensi kemanusiaan dan urgensi respons kebencanaan.

Tulisan ini mencoba membedah persoalan tersebut melalui pendekatan akademis diantaranya tinjauan hukum, analisis kebijakan publik, perspektif sosiologi bencana, dan konteks ekologis.

Dengan demikian, kita mendapatkan gambaran yang lebih objektif mengenai mengapa status bencana nasional penting, serta implikasi sosialnya jika status itu tidak segera diberikan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan kerangka normatif mengenai klasifikasi bencana. Secara umum, terdapat tiga tingkatan yakni Bencana tingkat kabupaten/kota, Bencana tingkat provinsi, dan Bencana nasional.

Penetapan bencana nasional biasanya merujuk pada jumlah korban dan dampaknya, luas wilayah terdampak, kerugian materiil, kemampuan daerah dalam menangani, serta kompleksitas gangguan terhadap fungsi pemerintahan, sosial, dan ekonomi.

Jika kita merujuk pada kondisi Sumatera, beberapa indikator tersebut sebenarnya telah terpenuhi.

Jalur vital yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara terputus total. Begitu pula jalur antar kabupaten seperti Bireuen–Takengon, Gayo Lues–Aceh Tamiang, hingga Bener Meriah–Bireuen.

Baca Juga:  Apresiasi untuk Polres Lampung Utara Sigap Tangani Kasus Asusila Anak Dibawah Umur

Kondisi ini menandakan bahwa dampak bencana bersifat multi-regional, sebuah indikator kuat untuk bencana nasional.

Pemda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menghadapi keterbatasan logistik, alat berat, dan sumber daya manusia. Kondisi daerah terisolasi membuat pasokan bantuan tidak dapat masuk tanpa intervensi pusat.

Kerusakan infrastruktur, kerugian pertanian, longsor besar, dan hancurnya pasar tradisional menunjukkan kerugian jangka panjang.

Ribuan warga mengungsi. Banyak desa tidak terjangkau. Fasilitas kesehatan terganggu. Akses bantuan terbatas.

Dari kacamata hukum, indikator penetapan bencana nasional sebenarnya sudah terang-benderang.

Dalam teori kebijakan publik, khususnya model Rational Actor Model, pemerintah sering kali mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan kalkulasi administratif.

Namun, pendekatan rasional tidak selalu selaras dengan kebutuhan lapangan yang bersifat mendesak dan humanis.

Ada beberapa kemungkinan alasan pemerintah enggan menetapkan bencana nasional.

Pertama, Status bencana nasional akan menjadi preseden bahwa setiap bencana besar di provinsi lain harus diperlakukan serupa, sehingga berpotensi memicu tuntutan daerah lain di masa depan.

Kedua, Penetapan bencana nasional membuka akses besar terhadap anggaran negara dan mobilisasi kekuatan TNI/Polri. Ini sering dihindari karena menuntut koordinasi intensif lintas lembaga dan risiko politisasi.

Ketiga, Bencana nasional sering diasosiasikan sebagai indikasi ketidakmampuan daerah dan pusat dalam mitigasi. Pemerintah kadang berhati-hati untuk menghindari narasi kegagalan penanganan.

Namun, pendekatan tersebut tampak kontras dengan urgensi kemanusiaan di lapangan. Dalam kerangka human-centric policy, keselamatan rakyat harus menjadi pertimbangan paling utama, bukan kalkulasi citra atau preseden administratif.

Baca Juga:  Eksistensi Perlindungan Hak Ulayat dalam Hukum Adat

Sosiologi bencana menekankan bahwa bencana bukan hanya peristiwa fisik, tetapi peristiwa sosial. Artinya, dampak terbesar bukan pada infrastruktur, melainkan pada manusia dan struktur sosialnya.

Aceh Tamiang dan wilayah sekitarnya menjadi terisolasi. Dalam sosiologi, isolasi adalah bentuk secondary disaster atau bencana lanjutan.

Keterbatasan akses menyebabkan ketidakadilan distribusi logistik. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil adalah yang paling menderita.

Anak-anak mengalami guncangan psikologis. Orang tua mengalami kecemasan sosial karena kehilangan harta dan mata pencaharian. Trauma ini disebut collective trauma, yang tanpa penanganan berdampak hingga bertahun-tahun.

Kelompok rentan, perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas, mengalami dampak berlipat.

Teori vulnerability menyebut kelompok ini memerlukan penanganan khusus yang hanya mungkin diberikan melalui mobilisasi nasional.

Dimensi-dimensi ini sulit terakomodasi bila penanganan hanya dianggap “bertaraf nasional” tanpa status resmi bencana nasional.

Tidak bisa disangkal bahwa banjir Sumatera adalah puncak dari persoalan ekologis yang telah menumpuk.

Deforestasi dan degradasi hutan, Sumatera adalah salah satu pulau dengan tingkat kehilangan hutan tercepat di Indonesia. Ketika hutan hilang, curah hujan tinggi tidak lagi tertahan.

Pendangkalan sungai, Sungai-sungai besar di Aceh dan Sumatera Utara mengalami sedimentasi parah akibat aktivitas perkebunan, pertambangan, dan tata kelola DAS yang buruk.

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit meningkatkan limpasan air permukaan (runoff), mempercepat banjir.

Dari perspektif ekologi, banjir Sumatera bukan hanya fenomena alam, tetapi akibat dari ketidakadilan ekologis di mana masyarakat kecil menjadi korban keputusan ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Baca Juga:  Kebebasan Pers dan Integritas Jurnalis

Secara akademis, alasan penetapan status bencana nasional dapat dirumuskan dalam tiga kerangka:

Kerangka hukum, Indikator UU 24/2007 terpenuhi.

Kerangka kebijakan publik, Koordinasi lebih efektif jika diambil alih pusat. Mobilisasi nasional diperlukan.

Kerangka kemanusiaan, Penderitaan manusia adalah alasan paling fundamental.

Penetapan bencana nasional bukan hanya tindakan administratif, tetapi langkah strategis untuk memastikan negara hadir secara komprehensif.

Pernyataan bahwa penanganan sudah bertaraf nasional tidak memiliki bobot hukum yang kuat. Istilah tersebut tidak dikenal dalam UU Penanggulangan Bencana.

Dalam perspektif akademis, ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan komando lapangan, keterbatasan dana daerah, potensi tumpang tindih kewenangan, lambatnya akses bantuan internasional, dan ketidakpastian bagi warga terdampak.

Kebijakan seharusnya jelas dan eksplisit, karena ambiguity dalam konteks bencana dapat menimbulkan konsekuensi fatal.

Dari sudut pandang akademis, banjir di Sumatera memenuhi kriteria bencana nasional berdasarkan hukum, kebijakan, ekologi, dan sosiologi.

Penundaan status ini dapat melemahkan efektivitas penanganan dan memperpanjang penderitaan warga.

Ketika wilayah terisolasi, akses logistik terputus, korban terus bertambah, dan kerugian mencapai lintas provinsi, maka tanggung jawab negara tidak boleh setengah hati.

Penetapan status bencana nasional adalah bentuk tanggung jawab moral, sosial,

dan konstitusional negara terhadap warganya.

Oleh: Junaidi Ismail, SH

Wartawan Utama