Opini

Menuju 2029: Demokrasi Jangan Cuma Pesta, Tapi Harus Berdaulat

×

Menuju 2029: Demokrasi Jangan Cuma Pesta, Tapi Harus Berdaulat

Sebarkan artikel ini
Menuju 2029: Demokrasi Jangan Cuma Pesta, Tapi Harus Berdaulat
Naufal Alman Widodo. | Ist

Potensinews.id – Menuju 2029, demokrasi jangan cuma pesta, tapi harus berdaulat.

Tahun 2029 memang masih beberapa tahun ke depan, tetapi gejolak politik menuju Pemilu serentak berikutnya sudah mulai terasa sejak hari ini.

Kita bisa melihat bagaimana elit politik mulai pasang kuda-kuda, partai sibuk dengan kalkulasi koalisi, dan ruang publik kembali dijejali narasi-narasi politik yang belum tentu berpihak pada kepentingan rakyat.

Di tengah situasi itu, kita sebagai rakyat, aktivis, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil, harus bertanya: apakah kita akan kembali menjadi penonton? Atau mulai bersiap menghadapi pesta demokrasi dengan persiapan yang lebih matang dan multidimensional?

Kita tidak boleh lagi terjebak dalam pemilu prosedural yang hanya sibuk urusan logistik, DPT, dan debat kandidat. Demokrasi bukan sekadar soal memilih siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi tentang bagaimana rakyat bisa berdaulat atas masa depannya.

Karena itu, persiapan menuju 2029 harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan berbagai dimensi kehidupan, bukan cuma aspek politik formal.

Politik: Dari Perebutan Kursi ke Pendidikan Kedaulatan Rakyat

Selama ini, politik di Indonesia terlalu didominasi elit. Parpol lebih sering sibuk berburu kekuasaan ketimbang membangun pendidikan politik di akar rumput. Padahal,

Baca Juga:  Desry, Pramugari Muda yang Meraih Mimpi Sejak Kecil

Pemilu 2029 harus dijadikan momentum untuk merebut kembali ruang-ruang politik dari tangan oligarki. Aktivis mahasiswa dan masyarakat sipil harus mendorong partai untuk membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas, menghidupkan diskusi politik rakyat, dan melawan politik uang serta politik identitas.

Pendidikan politik bukan soal kampanye saat musim pemilu saja, tapi soal membangun kesadaran rakyat akan hak dan kekuasaan politiknya. Rakyat harus belajar menjadi subjek politik, bukan objek yang hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, lalu dilupakan.

Hukum: Tegakkan Aturan Tanpa Pandang Bulu

Salah satu penyakit lama dalam pemilu di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum. Mulai dari pelanggaran administrasi, politik uang, pelibatan aparat, hingga kampanye hitam dibiarkan terjadi tanpa sanksi tegas.

Untuk itu, persiapan menuju 2029 harus melibatkan penguatan sistem hukum pemilu yang adil, transparan, dan bebas dari intervensi kekuasaan.

Bawaslu, KPU, dan aparat penegak hukum harus berani bertindak tegas, bukan hanya pada pelanggaran kecil, tapi juga pada kasus-kasus besar yang melibatkan elit. Tanpa hukum yang tegas, pemilu 2029 hanya akan menjadi panggung legitimasi oligarki.

Sosial: Lawan Polarisasi dan Politik Identitas

Kita belajar dari Pemilu 2014, 2019, dan 2024 bahwa politik identitas adalah senjata ampuh para elit untuk memecah rakyat. Polarisasi berbasis agama, etnis, dan daerah masih menjadi alat untuk meraup suara murah di akar rumput. Ini berbahaya, sebab selain merusak persatuan, juga menjauhkan rakyat dari diskusi politik yang substansial.

Baca Juga:  Mengoptimalkan Teknologi EdTech: Solusi Bisnis untuk Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan Tinggi

Karena itu, persiapan sosial menuju 2029 harus dilakukan sejak sekarang. Komunitas-komunitas sipil, organisasi mahasiswa, pesantren, gereja, pura, vihara, hingga kelompok adat harus mengambil peran aktif menciptakan ruang-ruang perjumpaan dan dialog lintas identitas. Kita harus belajar berbeda pilihan politik tanpa saling membenci.

Ekonomi: Cabut Akar Politik Uang

Politik uang adalah musuh utama demokrasi. Dan selama biaya politik masih mahal, selama rakyat masih gampang dibeli suaranya dengan sembako atau uang tunai, maka jangan berharap demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang berpihak pada rakyat.

Persiapan ekonomi menjelang 2029 berarti dua hal. Pertama, mendorong transparansi pendanaan partai politik dan kampanye. Kedua, membangun kesadaran rakyat tentang bahaya politik transaksional. Rakyat harus diajak berpikir jangka panjang, bahwa harga suara mereka lebih mahal daripada selembar uang 50 ribu yang nilainya habis dalam sehari.

Digital: Literasi Digital Bukan Pilihan, Tapi Keharusan

Pemilu 2029 akan lebih brutal di ruang digital. Hoaks, propaganda, manipulasi algoritma media sosial, dan buzzer politik dipastikan akan kembali jadi alat para elit untuk membentuk opini publik. Jika rakyat tidak melek digital, mereka akan mudah termakan isu bohong dan kampanye hitam.

Baca Juga:  NASIONALISME dan RELEGIUS Penting Untuk Menjaga Lampung Kondusif

Karenanya, persiapan digital mesti jadi prioritas. Literasi digital harus digaungkan sejak sekarang, terutama di kalangan anak muda dan komunitas marginal. Media alternatif, komunitas konten kreator, dan organisasi mahasiswa harus aktif memproduksi konten edukasi politik digital, membongkar hoaks, dan menghadirkan narasi politik yang mencerahkan.

Kesimpulan: Saatnya Demokrasi Direbut Kembali

Demokrasi di negeri ini terlalu lama dikuasai elit. Pemilu selama ini hanya jadi pesta bagi segelintir orang, sementara rakyat hanya disuruh tepuk tangan. Menuju 2029, kita tidak boleh lagi jadi penonton.

Persiapan multidimensional politik, hukum, sosial, ekonomi, hingga digital harus dilakukan sejak sekarang. Demokrasi sehat hanya bisa lahir dari rakyat yang sadar, kritis, dan berani melawan ketidakadilan. Jika kita diam, maka yang berkuasa tetap mereka yang menindas.

2029 harus jadi momentum demokrasi berdaulat, bukan sekadar pesta politik oligarki. Demokrasi bukan hadiah, tapi harus direbut, dijaga, dan diperjuangkan.

Oleh: Naufal Alman Widodo