Potensinews.id – Permintaan global anjlok, harga singkong Lampung merosot drastis.
Harga singkong di tingkat petani Lampung terus anjlok akibat melemahnya permintaan tapioka di pasar global.
Meski pemerintah sempat menetapkan harga acuan Rp1.350 per kilogram, kenyataannya petani kini hanya menerima sekitar Rp1.000 hingga Rp1.100 per kilogram, setelah diberlakukan potongan (rafaksi) hingga 40 persen.
Penurunan ini merupakan imbas langsung dari anjloknya harga tepung tapioka (aci), yang menjadi produk olahan utama singkong. Pada akhir tahun 2024, harga aci masih berada di kisaran Rp5.600 per kilogram, namun kini melorot tajam menjadi sekitar Rp4.500 per kilogram, bahkan lebih rendah.
Tren ini tidak hanya melanda Lampung sebagai sentra produksi terbesar di Indonesia, tetapi juga terjadi di berbagai daerah lain.
Menurut data, Provinsi Lampung memiliki 239.994 hektare lahan ubi kayu dengan total produksi 7,16 juta ton hingga tahun 2024. Dari hasil panen tersebut, industri pengolahan menghasilkan 1,79 juta ton tepung tapioka, dengan nilai produksi diperkirakan mencapai Rp10,7 triliun.
Penurunan harga tapioka di tingkat dunia disebabkan oleh melemahnya permintaan, terutama di sektor industri kertas dan pangan. Asosiasi Perdagangan Tapioka Thailand melaporkan, harga ekspor (FOB Bangkok) turun drastis dari US$568 per ton pada awal 2024 menjadi US$405-450 per ton pada Agustus 2025.
Selain faktor global, permasalahan stok juga memperburuk kondisi di Lampung.
Tigor Silitonga, Sekretaris Himpunan Perusahaan Tepung Tapioka Indonesia (HPPTI), menyebut saat ini stok tepung tapioka di Lampung menumpuk hingga 400 ribu ton.
Sebagian besar hasil produksi tahun ini belum terserap pasar, sehingga menekan harga di tingkat industri dan petani.
Menyikapi situasi ini, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Lampung, Helmi Hasanuddin, menilai harga singkong berpotensi terus turun hingga awal tahun depan.
Ia mendorong pola kemitraan konkret antara industri dan petani, serta penerapan panca usaha tani dengan dukungan pemerintah dan BUMN.
“Pola ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hasil dan menjaga keberlanjutan industri tapioka,” ujar Helmi.
Ia juga menyinggung opsi diversifikasi ke tanaman jagung, namun dengan syarat harus didukung ekosistem bisnis yang terintegrasi, termasuk ketersediaan pengering dan kemitraan dengan UMKM pakan lokal.
Senada dengan itu, Tigor Silitonga dari HPPTI menyoroti pentingnya kebijakan proteksi pasar domestik melalui pembatasan impor. Menurutnya, hal ini krusial agar produk dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan pasar nasional.
Meski demikian, Tigor mengingatkan bahwa singkong tetap menjadi komoditas utama Lampung karena sifatnya yang mudah tumbuh dan sudah membudaya di kalangan petani. Karena itu, strategi jangka panjang adalah memperkuat industri tapioka melalui efisiensi produksi, proteksi pasar, dan kemitraan yang berkelanjutan.