Opini

Hukum Kenegaraan dan Otonomi Daerah di Era Dinamisasi Regulasi

×

Hukum Kenegaraan dan Otonomi Daerah di Era Dinamisasi Regulasi

Sebarkan artikel ini
Hukum Kenegaraan dan Otonomi Daerah di Era Dinamisasi Regulasi
Junaidi Ismail, S.H., Ketua Umum Poros Wartawan Lampung. | Ist

Potensinews.id – Hukum kenegaraan dan otonomi daerah di era dinamisasi regulasi.

Sejak masa reformasi 1998, Indonesia memasuki era baru ketatanegaraan yang ditandai dengan perubahan mendasar terhadap UUD 1945. Empat kali amandemen konstitusi itu melahirkan berbagai lembaga negara baru, mengubah sistem perwakilan, hingga memperkuat prinsip demokrasi.

Namun, reformasi tidak berhenti di situ. Berbagai undang-undang di bidang kenegaraan dan otonomi daerah terus mengalami revisi. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Partai Politik, hingga Undang-Undang Ibu Kota Negara adalah contoh nyata betapa hukum kita bergerak cepat.

Perubahan ini menandakan bahwa hukum kenegaraan dan otonomi daerah berada dalam pusaran dinamisasi regulasi. Pertanyaannya, apakah perubahan ini memperkuat demokrasi dan tata kelola pemerintahan, atau justru menimbulkan ketidakpastian hukum?

Konstitusi adalah puncak dari tata hukum nasional. Ia mengandung cita-cita luhur antara lain kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial, serta supremasi hukum. Namun, dalam praktik, hukum kenegaraan sering menghadapi benturan dengan kepentingan politik.

Misalnya, perdebatan seputar presidential threshold dalam pemilu presiden. Banyak akademisi hukum tata negara mengkritik aturan ini karena dianggap membatasi hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih. Tetapi, regulasi tersebut tetap bertahan karena kuatnya kepentingan politik partai.

Contoh lain adalah peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang kerap dipandang sebagai benteng terakhir konstitusi. Putusan-putusan MK sering kali menjadi penentu arah demokrasi, mulai dari pembubaran partai politik, sengketa hasil pemilu, hingga uji materi undang-undang. Hal ini menunjukkan betapa hukum kenegaraan memiliki peran vital dalam menjaga idealitas konstitusi di tengah realitas politik yang keras.

Baca Juga:  Kontroversi, Turbulensi Demokrasi, Hingga Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Konsep otonomi daerah di Indonesia lahir dari semangat reformasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999 (kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004, lalu UU No. 23 Tahun 2014), pemerintah daerah diberi kewenangan luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Cita-citanya jelas yaitu demokratisasi, pemerataan pembangunan, dan penguatan kemandirian daerah. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan.

Banyak daerah masih bergantung pada transfer fiskal dari pusat. Korupsi kepala daerah juga menjadi persoalan serius. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan puluhan kepala daerah terjerat kasus korupsi setiap tahun. Belum lagi persoalan kualitas peraturan daerah yang kadang justru tumpang tindih dengan regulasi pusat.

Artinya, otonomi daerah masih menghadapi jalan terjal. Semangat demokratisasi belum sepenuhnya sejalan dengan praktik tata kelola pemerintahan di daerah.

Perubahan regulasi yang cepat seringkali dianggap sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan bangsa. Namun, terlalu seringnya revisi undang-undang juga bisa memicu ketidakpastian hukum.

Ambil contoh UU Pemilu. Hampir setiap menjelang pemilu, undang-undang ini direvisi. Akibatnya, penyelenggara pemilu harus terus menyesuaikan aturan main, sementara masyarakat kebingungan dengan perubahan sistem yang begitu cepat.

Baca Juga:  Relasi Bahasa dan Politik

UU Pemerintahan Daerah juga beberapa kali diubah dalam waktu singkat. Padahal, hukum membutuhkan kepastian agar bisa dijadikan pegangan oleh masyarakat maupun pemerintah. Jika regulasi terlalu sering berubah, kepastian hukum menjadi kabur.

Ada Kasus-Kasus Aktual sebagai Cermin Dinamika, diantaranya:

1. Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN): UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN menjadi contoh regulasi besar yang lahir dengan cepat. Proyek ini strategis, tetapi banyak kalangan mempertanyakan proses legislasi yang terburu-buru dan minim partisipasi publik.

2. Revisi UU KPK (2019): Perubahan ini menuai kontroversi karena dianggap melemahkan lembaga antikorupsi. Dari perspektif hukum kenegaraan, kasus ini menunjukkan bagaimana regulasi bisa dipengaruhi oleh kepentingan politik, bukan semata kebutuhan hukum.

3. Otonomi Khusus Papua: Revisi UU Otsus Papua pada 2021 menghadirkan perdebatan serius. Bagi pemerintah pusat, revisi ini adalah solusi. Tetapi bagi sebagian masyarakat Papua, regulasi ini dianggap tidak menyelesaikan akar persoalan.

Kasus-kasus tersebut memperlihatkan wajah dinamisasi regulasi yang cepat berubah, penuh kepentingan, dan seringkali meninggalkan perdebatan mendasar.

Dalam menghadapi situasi ini, peran akademisi dan praktisi hukum sangat penting. Mereka adalah pengawal demokrasi yang bisa menyoroti kelemahan regulasi sekaligus menawarkan solusi.

Baca Juga:  80 Tahun Pancasila: Keadilan Sosial Terkubur di Lahan Reforma Agraria

Melalui riset akademik, publikasi ilmiah, maupun opini publik, para ahli hukum tata negara dan otonomi daerah bisa memberi kontribusi nyata. Misalnya, dengan mengkaji dampak desentralisasi fiskal, efektivitas pemilu serentak, atau kualitas legislasi di daerah.

Lebih dari itu, mereka harus aktif dalam forum publik, ikut memberikan masukan dalam proses legislasi, hingga menjadi mitra kritis bagi pemerintah. Dengan begitu, hukum benar-benar hadir sebagai instrumen keadilan, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.

Hukum kenegaraan dan otonomi daerah adalah dua pilar penting yang menopang demokrasi Indonesia. Di tengah derasnya perubahan regulasi, kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan hukum terus digerakkan oleh kepentingan sesaat, atau memperkuatnya sebagai dasar tegaknya demokrasi.

Era dinamisasi regulasi bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang. Tantangan karena ia sering menimbulkan ketidakpastian hukum. Peluang karena ia membuka ruang perbaikan sistem hukum agar lebih responsif, adil, dan demokratis.

Pada akhirnya, hukum harus kembali pada jati dirinya, yakni sebagai sarana mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kenegaraan dan otonomi daerah harus dijaga agar tetap menjadi fondasi kokoh bagi persatuan dan kemajuan bangsa.

Oleh: Junaidi Ismail, S.H.
Ketua Umum Poros Wartawan Lampung.