Opini

Menjaga Jati Diri Bangsa di Tengah Badai Digital

×

Menjaga Jati Diri Bangsa di Tengah Badai Digital

Sebarkan artikel ini
Menjaga Jati Diri Bangsa di Tengah Badai Digital
Ilustrasi krisis identitas nasional di era digital. Arus informasi yang tak terbendung membuat generasi muda rentan kehilangan jati diri dan nilai-nilai kebangsaan. Dok: Ist

Potensinews.id — Di tengah derasnya arus informasi digital, warga negara kini tidak hanya menjadi penerima berita, tetapi juga produsen opini. Sayangnya, di era media sosial, batas antara fakta dan opini semakin kabur. Banyak orang lebih mempercayai narasi yang viral dibandingkan data yang valid. Akibatnya, lahirlah generasi yang reaktif, mudah tersulut emosi, dan kehilangan kemampuan berpikir kritis terhadap isu-isu kebangsaan.

Padahal, menjadi warga negara yang baik di era digital bukan sekadar aktif bersuara, melainkan juga bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang disebarkan.

Setiap tahun bangsa ini memperingati Hari Lahir Pancasila. Namun, di ruang publik digital, kita justru sering menyaksikan ujaran kebencian, perundungan maya, dan polarisasi politik. Nilai-nilai Pancasila seakan hanya dihafal, bukan dihayati. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, kehilangan maknanya ketika masyarakat lebih suka menghakimi daripada memahami.

Baca Juga:  Kebebasan Pers dan Integritas Jurnalis

Krisis etika publik ini menjadi tantangan besar bagi bangsa yang menjunjung tinggi persatuan. Sebab, etika digital sejatinya mencerminkan sejauh mana nilai-nilai Pancasila benar-benar hidup dalam diri setiap warga negara.

Dalam konteks digital, hukum sering kali tertinggal dari laju perkembangan teknologi. Banyak kasus penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian yang tak terselesaikan secara adil. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita benar-benar hidup dalam negara hukum, atau justru berada dalam hukum yang mudah diarahkan oleh kepentingan penguasa?

Ketika penegakan hukum tidak lagi netral, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap sistem keadilan. Padahal, sila kelima Pancasila menegaskan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia — termasuk di ruang digital.

Sebagai warga negara, kita sering menuntut hak: kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengkritik. Namun di sisi lain, kita kerap lupa menjalankan kewajiban untuk menjaga martabat bangsa. Krisis moral publik di dunia maya tampak dari budaya saling menjatuhkan, penyebaran kebohongan, dan hilangnya empati sosial.

Baca Juga:  Marindo Kurniawan Sekda Termuda, Harapan Baru Birokrasi Lampung

Padahal, hak dan kewajiban warga negara ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jika kebebasan berekspresi tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral, yang muncul bukanlah demokrasi digital, melainkan anarki opini.

Krisis identitas nasional di era digital bukan sekadar hilangnya rasa nasionalisme, melainkan lunturnya jati diri bangsa akibat banjir budaya global. Generasi muda kini lebih hafal budaya populer luar negeri daripada nilai-nilai luhur bangsanya sendiri.

Algoritma media sosial membentuk pola pikir instan, konsumtif, dan narsistik — jauh dari semangat gotong royong serta kesederhanaan yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Karena itu, literasi digital berbasis nilai kebangsaan perlu diperkuat, bukan melalui doktrin yang kaku, tetapi lewat pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, empati, serta kebanggaan menjadi bagian dari Indonesia.

Baca Juga:  Mengingat Hari TBC Dunia Sang Pembunuh 34 Juta Mimpi

Identitas bangsa tidak akan hilang jika warganya mau menjaga nilai kemanusiaan, keadilan, dan kejujuran di setiap ruang — termasuk ruang digital. Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, tetapi panduan moral yang harus hidup di tengah perubahan zaman.

Krisis identitas hanya dapat diatasi apabila setiap warga negara berani menjadi “filter hidup” bagi bangsanya sendiri: bukan sekadar pengguna teknologi, melainkan penjaga akal sehat dan nurani publik.

Oleh: Anggi Aprianti
Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendidikan Matematika