Potensinews.id – Artikel ini membahas bagaimana perspektif Ekonomi Politik Kelembagaan (Institutional Political Economy) menjadi fondasi epistemologis yang kuat untuk mengkritik arus utama ekonomi modern.
Kritik ini sangat relevan dalam konteks ekonomi syariah, di mana pendekatannya yang terlalu positivistik dan individualistik telah menciptakan krisis etika dan ketidakadilan global.
Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah menawarkan jalan keluar dengan menekankan integrasi antara nilai ilahiah (tawhid), norma sosial, dan struktur kelembagaan dalam mendesain sistem ekonomi yang berkeadilan.
Pendahuluan: Krisis Etika dalam Rasionalitas Pasar
Ekonomi modern, khususnya mazhab neoklasik, secara fundamental dibangun di atas asumsi rasionalitas individual dan obsesi terhadap efisiensi pasar.
Paradigma ini cenderung mengabaikan dimensi moral dan sosial dalam analisisnya. Konsekuensinya, kita menyaksikan peningkatan ketimpangan sosial dan krisis legitimasi etika dalam sistem ekonomi global.
Dalam konteks inilah, Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah muncul sebagai narasi tandingan (counter-narrative) yang menuntut penempatan nilai-nilai fundamental Islam, terutama maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariah), sebagai fondasi utama setiap kelembagaan ekonomi.
Kerangka Teoretis: Kekuatan di Balik Keputusan Ekonomi
Ekonomi politik kelembagaan menegaskan bahwa setiap keputusan ekonomi tidak pernah netral dari dimensi sosial dan politik.
Keputusan tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor non-pasar, seperti kekuasaan, norma, dan nilai-nilai yang tertanam kuat dalam institusi masyarakat.
Dalam konteks ekonomi Islam, institusi seperti:
*Zakah dan Wakaf
*Hisbah (Pengawasan Pasar)
Bukan sekadar mekanisme ekonomi pasif, melainkan instrumen politik dan sosial yang secara aktif bertujuan mewujudkan falāh (kesejahteraan sosial) dan keadilan distributif.
Institusi inilah yang membedakan ekonomi syariah dari pandangan neoklasik yang mengkultuskan pasar bebas.
Tiga Dimensi Kritik terhadap Mainstreamisasi
Kritik utama terhadap arus utama ekonomi modern dapat dirangkum melalui tiga dimensi utama yang saling terkait:
1. Epistemologis: Reduksi realitas ekonomi hanya menjadi fenomena kuantitatif, mengabaikan unsur moralitas, spiritualitas, dan tujuan hidup manusia.
2. Institusional: Dominasi paradigma neoliberal dalam lembaga keuangan global yang secara struktural mengakibatkan marginalisasi prinsip keadilan sosial yang diajarkan Islam.
3. Metodologis: Ketergantungan berlebihan pada model matematis dan abstraksi yang mengabaikan konteks sosial-politik dan historis masyarakat Muslim yang sangat beragam.
Ekonomi syariah berupaya mengoreksi bias-bias ini dengan menempatkan prinsip Tawhid sebagai dasar epistemik utama. Ini memastikan bahwa kegiatan ekonomi selalu terikat pada nilai moral dan keadilan sosial (adl).
Ekonomi Politik Syariah: Tata Kelola Berbasis Nilai
Pendekatan Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah menekankan bahwa struktur ekonomi harus dibangun di atas institusi yang berorientasi etis, seperti:
*Baitul Mal: Sebagai sistem redistribusi kekayaan yang terstruktur.
*Wakaf Produktif: Sebagai lembaga investasi sosial dan pengembangan aset umat.
*Hisbah: Sebagai mekanisme pengawasan moralitas dan etika transaksi pasar.
Levent & Afacan (2025) pernah menegaskan bahwa kekuatan sejati ekonomi Islam bukan terletak pada sekadar meniru mekanisme pasar bebas, tetapi pada governance of morality, yakni, tata kelola yang didasarkan pada nilai (value-based governance).
Hal ini jelas berseberangan dengan paradigma kapitalistik yang secara fundamental memisahkan etika dari efisiensi ekonomi.
Jebakan Mainstreamisasi Internal dalam Ekonomi Syariah
Ironisnya, kritik terhadap mainstreamisasi ini juga harus diarahkan ke dalam tubuh ekonomi syariah kontemporer itu sendiri.
Banyak praktik ekonomi Islam saat ini justru terperangkap dalam meniru model konvensional, seperti adopsi instrumen yang menyerupai bunga terselubung dalam profit sharing atau replikasi struktur bank konvensional.
Kritik internal ini sangat penting: Ekonomi syariah tidak boleh hanya menjadi ekonomi tanpa bunga (sekadar penghilangan riba), tetapi harus secara total menjadi ekonomi berkeadilan (mewujudkan adl dan maslahah).
Jika tidak, ia hanya akan menjadi versi hibrida yang kehilangan substansi etisnya.
Kesimpulan
Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah menawarkan kerangka yang menolak reduksi ekonomi menjadi sekadar kalkulasi pasar.
Paradigma ini menuntut rekonstruksi epistemologis yang mendalam, di mana seluruh aktivitas ekonomi diarahkan oleh nilai-nilai tawhid, adl, dan maslahah.
Dengan demikian, kritik terhadap mainstreamisasi bukan hanya latihan teoretis. Ini adalah agenda praksis untuk mengarahkan sistem ekonomi, baik di Indonesia maupun global, menuju kesejahteraan sosial dan keberlanjutan yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah yang universal.
Oleh: Navis Adnan












