Artikel

Makroekonomi: Kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dengan sudut pandang Islam

×

Makroekonomi: Kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dengan sudut pandang Islam

Sebarkan artikel ini
Makroekonomi: Kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dengan sudut pandang Islam
Gambar : Ilustrasi

Potensinews.id – Kajian makroekonomi Islam merupakan upaya untuk meninjau kembali paradigma ekonomi modern yang didominasi oleh sistem kapitalis dan sosialisme dengan menempatkan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kesejahteraan sebagai landasan utama.

Dalam konteks kebijakan makroekonomi, dua instrumen penting yang menjadi fokus adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, yang keduanya memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam perspektif Islam, kebijakan moneter tidak hanya berfungsi menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, tetapi juga memastikan bahwa sistem keuangan berjalan tanpa riba, gharar, dan maisir.

Sementara itu, kebijakan fiskal dipandang sebagai sarana untuk mendistribusikan kekayaan secara adil melalui instrumen seperti zakat, infaq, dan pajak Islami (dharibah).

Artikel ini mengkaji pandangan ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, serta pemikir kontemporer seperti M. Umer Chapra dan Monzer Kahf, mengenai bagaimana kebijakan fiskal dan moneter dapat diterapkan dalam kerangka syariah untuk mencapai keseimbangan ekonomi makro yang berkeadilan.

Kajian ini juga menyoroti relevansi implementasinya di Indonesia sebagai negara dengan sistem keuangan ganda (dual banking system).

Pendahuluan

Perkembangan ekonomi modern yang berakar pada sistem kapitalisme sering kali menimbulkan ketimpangan sosial, ketidakstabilan moneter, dan konsentrasi kekayaan pada kelompok tertentu.

Sistem ini menitikberatkan pada pertumbuhan dan efisiensi pasar, namun sering mengabaikan dimensi moral dan spiritual yang menjadi inti kesejahteraan manusia.

Dalam konteks ini, munculnya ekonomi Islam sebagai alternatif bukan sekadar respon terhadap kegagalan sistem konvensional, tetapi juga sebagai upaya membangun sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah dan keadilan sosial.

Makroekonomi Islam, sebagai cabang dari ekonomi Islam, memfokuskan kajian pada variabel-variabel agregat seperti pendapatan nasional, inflasi, pengangguran, dan kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi.

Namun, berbeda dengan makroekonomi konvensional, Islam menempatkan nilai-nilai moral dan spiritual sebagai faktor integral dalam setiap kebijakan ekonomi. Prinsip-prinsip seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (mizan), dan kemaslahatan (maslahah) menjadi fondasi yang membedakan analisis makroekonomi Islam dari teori konvensional yang bersifat sekuler.

Dua instrumen utama dalam kebijakan makroekonomi, yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, memiliki posisi penting dalam menjaga stabilitas dan distribusi kesejahteraan ekonomi.

Dalam sistem Islam, keduanya tidak hanya dipandang sebagai alat teknokratis, tetapi juga sebagai bentuk amanah dan tanggung jawab moral pemerintah dalam menegakkan keadilan ekonomi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, negara berperan sentral dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, sebab “keberadaan harta dan kekuasaan akan saling menopang apabila dikelola dengan adil.”

Dalam konteks kebijakan moneter, Islam menolak praktik riba yang menjadi fondasi sistem bunga dalam ekonomi modern. Sebaliknya, Islam menawarkan sistem berbasis bagi hasil dan pengelolaan uang sebagai alat tukar, bukan komoditas yang diperdagangkan.

Hal ini berbeda secara paradigmatik dengan pendekatan Keynesian atau monetaris yang menitikberatkan pada pengendalian suku bunga sebagai instrumen utama.

Sedangkan dalam kebijakan fiskal, Islam mengenal mekanisme redistribusi kekayaan melalui instrumen seperti zakat, infaq, sedekah, dan pajak Islami, yang semuanya diarahkan untuk menegakkan keadilan sosial-ekonomi dan menghapus kesenjangan.

Pemikiran para ulama klasik seperti Al-Ghazali, yang menekankan pentingnya maslahah dalam setiap kebijakan ekonomi, serta Ibn Khaldun yang menyoroti keterkaitan antara kebijakan fiskal, pajak, dan kemakmuran negara, menjadi dasar filosofis dalam membangun konsep makroekonomi Islam.

Sementara itu, ulama kontemporer seperti M. Umer Chapra, Monzer Kahf, dan Nejatullah Siddiqi mengembangkan teori-teori modern tentang bagaimana kebijakan fiskal dan moneter dapat disesuaikan dengan sistem ekonomi global tanpa kehilangan prinsip-prinsip syariah.

Di Indonesia, penerapan nilai-nilai makroekonomi Islam mulai terlihat melalui sistem perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, serta kebijakan fiskal inklusif yang mendukung zakat dan wakaf produktif.

Meski demikian, penerapan penuh kebijakan moneter dan fiskal berbasis syariah masih menghadapi tantangan konseptual dan struktural, terutama dalam sistem ekonomi ganda (dual system) yang menggabungkan unsur konvensional dan syariah.

Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam:
Konsep kebijakan moneter dan fiskal dalam perspektif Islam.
Pandangan ulama klasik dan kontemporer terhadap kedua instrumen tersebut.
Relevansi penerapannya dalam konteks ekonomi Indonesia modern.

Kajian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori makroekonomi Islam yang berkeadilan dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Tinjauan Teoretis Makroekonomi Islam

Konsep Dasar Makroekonomi Islam
Makroekonomi Islam merupakan cabang ilmu ekonomi yang mengkaji perilaku ekonomi agregat dalam kerangka nilai-nilai syariah.

Baca Juga:  BI Lampung Bersama BMPD Bagikan Ribuan Paket Semako dan Al-Quran

Fokusnya tidak hanya pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada pemerataan distribusi kekayaan, stabilitas harga, serta kesejahteraan sosial yang berkeadilan.

Dalam pandangan Islam, kesejahteraan (falah) tidak dapat dipisahkan dari aspek moral dan spiritual, karena tujuan akhir dari aktivitas ekonomi adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam sistem ekonomi konvensional, keseimbangan ekonomi dicapai melalui interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar, sedangkan dalam Islam keseimbangan dicapai melalui sinergi antara mekanisme pasar, peran negara, dan etika individu Muslim. Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi pada dasarnya merupakan bagian dari ibadah sosial, karena manusia berkewajiban memenuhi kebutuhan dirinya tanpa melupakan kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak memisahkan antara tujuan ekonomi dan moral sebagaimana dalam paradigma sekuler.

Tujuan makroekonomi Islam mencakup beberapa aspek penting: pemanfaatan sumber daya secara efisien, pemerataan distribusi kekayaan, stabilitas nilai uang dan harga, penciptaan kesempatan kerja, serta pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable development) yang berlandaskan nilai-nilai tauhid.

Dengan demikian, makroekonomi Islam menolak konsep pertumbuhan ekonomi yang diukur semata-mata melalui indikator Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi lebih menekankan kesejahteraan sosial, distribusi yang adil, dan keberkahan (barakah) dalam kegiatan ekonomi.

Landasan Filosofis dan Normatif

Fondasi makroekonomi Islam berpijak pada tiga sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Al-Qaṣaṣ [28]:77

Ayat ini menggambarkan keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi sebagai asas utama kegiatan ekonomi. Islam tidak menolak harta dan kekayaan, namun menolak akumulasi kekayaan yang eksploitatif dan tidak produktif.
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan: “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini menegaskan prinsip akuntabilitas dalam aktivitas ekonomi, yang menjadi dasar moral bagi sistem fiskal dan moneter Islam.

Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menekankan bahwa kekuatan ekonomi suatu negara sangat bergantung pada keadilan kebijakan dan moral penguasanya.

Menurutnya, “Kezaliman akan menghancurkan peradaban dan melemahkan semangat produksi rakyat.” Pandangan ini sejalan dengan prinsip bahwa fungsi negara dalam ekonomi Islam bukan untuk mengeksploitasi, tetapi untuk menjaga keadilan dan keseimbangan ekonomi.

Prinsip-Prinsip Pokok dalam Makroekonomi Islam
Beberapa prinsip utama yang membentuk kerangka makroekonomi Islam antara lain:

Tauhid (Unity of God)

Tauhid menegaskan bahwa seluruh aktivitas ekonomi harus berorientasi kepada Allah SWT. Implikasi dari prinsip ini adalah terciptanya integrasi antara aspek spiritual dan material dalam kebijakan ekonomi.

Keadilan (‘Adl)

Prinsip ini menuntut adanya keseimbangan dalam pembagian sumber daya dan hasil ekonomi. Ketidakadilan ekonomi seperti riba, eksploitasi, dan monopoli merupakan pelanggaran terhadap hukum syariah.

Khilafah (Stewardship)

Manusia dipandang sebagai khalifah Allah di bumi yang bertanggung jawab mengelola sumber daya dengan amanah dan efisien.

Tazkiyah (Purifikasi)

Kegiatan ekonomi harus membawa penyucian jiwa dan keberkahan, bukan sekadar akumulasi kekayaan.

Maslahah (Public Interest)

Semua kebijakan ekonomi harus mengarah pada kemaslahatan umum dan menghindari kerusakan (mafsadah).

Prinsip-prinsip tersebut kemudian dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan moneter dan fiskal yang sesuai syariah. Dalam konteks ini, ulama klasik seperti Al-Ghazali menegaskan bahwa pemerintah wajib memastikan sirkulasi harta berjalan secara adil di tengah masyarakat.

Demikian pula Ibn Taymiyyah menolak bentuk kebijakan yang menyebabkan distorsi harga atau penindasan ekonomi.

Kritik terhadap Makroekonomi Konvensional
Makroekonomi konvensional, baik yang beraliran Keynesian maupun Monetaris, didasarkan pada asumsi sekularisme yang memisahkan ekonomi dari etika.

Tujuan utamanya adalah stabilitas dan pertumbuhan, tanpa mempertimbangkan nilai moral atau keadilan sosial. Akibatnya, kebijakan ekonomi modern sering kali menimbulkan inflasi struktural, ketimpangan distribusi, dan ketergantungan pada bunga serta utang.

Baca Juga:  Memilih Kepala Daerah: Antara Obat dan Racun untuk Masyarakat

Menurut M. Umer Chapra, kelemahan mendasar sistem konvensional adalah kegagalannya dalam menciptakan kesejahteraan yang merata. Sistem bunga (interest-based system) mendorong konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dan menimbulkan ketidakstabilan finansial global.

Dalam konteks ini, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi melalui penghapusan riba, penerapan bagi hasil, serta redistribusi kekayaan melalui instrumen fiskal Islami seperti zakat dan wakaf produktif.

Integrasi Etika dan Kebijakan Ekonomi
Ciri khas makroekonomi Islam adalah integrasi antara etika dan kebijakan ekonomi. Islam tidak mengenal dikotomi antara dunia dan akhirat, antara ekonomi dan akhlak.

Oleh karena itu, kebijakan moneter dan fiskal Islam bukan hanya instrumen teknis, tetapi juga manifestasi dari keadilan sosial dan spiritualitas ekonomi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Monzer Kahf, “Ekonomi Islam bukan hanya ilmu tentang produksi dan distribusi, tetapi juga tentang bagaimana manusia mematuhi hukum Allah dalam aktivitas ekonomi mereka.” Ini berarti, setiap kebijakan ekonomi harus memenuhi dimensi moral, sosial, dan spiritual agar dapat disebut Islami.

Kebijakan Moneter dalam Perspektif Islam
Kebijakan moneter secara umum adalah kebijakan yang ditempuh oleh otoritas moneter (bank sentral) untuk mengendalikan jumlah uang beredar, tingkat inflasi, dan stabilitas nilai tukar guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam sistem ekonomi konvensional, instrumen utama kebijakan moneter meliputi suku bunga, cadangan wajib minimum, dan operasi pasar terbuka. Namun, dalam perspektif Islam, penggunaan suku bunga (riba) dilarang secara mutlak karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan.

Dalam Islam, uang bukan komoditas, melainkan alat tukar yang berfungsi untuk mempermudah transaksi ekonomi. Karena itu, memperjualbelikan uang dengan imbalan bunga dianggap bentuk eksploitasi (zulm). Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan.

Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Al-Baqarah [2]:275

Dengan penghapusan riba, maka sistem moneter Islam berupaya menggantikan mekanisme bunga dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), sehingga hubungan antara pemilik modal dan pengguna modal bersifat adil dan saling menguntungkan.

Tujuan kebijakan moneter dalam Islam tidak hanya untuk stabilitas harga, tetapi juga untuk mencapai kesejahteraan sosial (al-falah), distribusi kekayaan yang adil, dan penghapusan praktik spekulatif (gharar dan maisir). M. Umer Chapra menegaskan bahwa sistem moneter Islam harus mampu mengarahkan sumber daya ke sektor riil, bukan spekulatif, agar perekonomian dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam berbeda secara mendasar dari sistem konvensional.

Beberapa instrumen yang dapat diterapkan antara lain:
Instrumen Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Mekanisme ini menjadi dasar dalam sistem perbankan syariah, di mana bank berperan sebagai mitra investasi, bukan kreditor. Skema seperti mudharabah (bagi hasil antara pemilik modal dan pengelola) dan musyarakah (kerja sama modal bersama) menjadi pengganti suku bunga.

Zakat dan Instrumen Sosial Ekonomi

Meskipun bukan instrumen moneter langsung, zakat dapat mengurangi penumpukan kekayaan dan mendorong sirkulasi uang. Al-Ghazali menekankan pentingnya zakat sebagai “mekanisme spiritual untuk menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat.”

Instrumen Cadangan Wajib dan Pembiayaan Syariah

Dalam sistem moneter Islam modern, bank sentral dapat menetapkan rasio cadangan wajib syariah untuk mengontrol likuiditas, tanpa menggunakan bunga.

Operasi Pasar Terbuka Syariah (Sukuk dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah/SBIS)
Di Indonesia, Bank Indonesia melalui BI Sharia Certificates (SBIS) dan Sukuk Negara berfungsi sebagai instrumen operasi pasar terbuka dalam kerangka syariah.

Kebijakan Moral (Moral Suasion)
Kebijakan moneter dalam Islam menekankan dimensi etika, di mana otoritas moneter mendorong lembaga keuangan agar menghindari praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti spekulasi berlebihan (tadlis).

Baca Juga:  Direktur JakTV Jadi Tersangka, Ancaman Demokrasi

Pandangan Ulama tentang Kebijakan Moneter
Ulama klasik Islam memberikan perhatian besar terhadap konsep keadilan dalam sirkulasi uang dan nilai tukar. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menegaskan bahwa uang adalah sarana pertukaran yang nilainya tidak boleh dimanipulasi. Ia menulis:
“Uang diciptakan sebagai alat ukur nilai, bukan untuk ditimbun atau diperjualbelikan.”
Al-Ghazali juga memperingatkan bahaya penimbunan uang (kanz al-mal) yang dapat menurunkan aktivitas ekonomi dan merusak keseimbangan pasar. Prinsip ini sejajar dengan kebijakan moneter modern yang berupaya mendorong sirkulasi uang untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Sementara itu, Ibn Taymiyyah menyoroti pentingnya kestabilan harga dan nilai uang. Ia menolak segala bentuk manipulasi harga dan mata uang oleh penguasa, karena hal itu termasuk bentuk kezaliman terhadap masyarakat.

Ibn Taymiyyah menulis:
“Apabila harga naik bukan karena kezaliman manusia, maka tidak boleh dipaksakan untuk menurunkan harga. Tetapi jika kenaikan disebabkan kezaliman atau penimbunan, maka wajib bagi penguasa untuk mencegahnya.”
Pemikiran ini menunjukkan kesadaran awal para ulama terhadap peran kebijakan moneter sebagai sarana menjaga stabilitas ekonomi dan keadilan pasar.

Pemikir kontemporer seperti M. Umer Chapra, Monzer Kahf, dan Fahim Khan telah mengembangkan teori kebijakan moneter Islam yang lebih aplikatif.

Chapra menekankan bahwa stabilitas moneter hanya bisa dicapai jika sistem keuangan bebas dari bunga dan uang dikaitkan langsung dengan sektor riil. Menurutnya, “Monetary stability in Islam is not merely a technical goal, but a moral obligation to ensure justice in exchange.”

Monzer Kahf berpendapat bahwa bank sentral dalam sistem Islam berfungsi sebagai lembaga pengatur likuiditas yang berlandaskan prinsip keadilan dan kemaslahatan.

Ia juga menolak penggunaan suku bunga sebagai instrumen kebijakan, dan menggantinya dengan mekanisme bagi hasil, moral suasion, serta pengelolaan sukuk negara.

Sementara Fahim Khan menekankan pentingnya mengaitkan pertumbuhan uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi riil agar tidak terjadi inflasi. Dalam pandangannya, inflasi dalam ekonomi Islam merupakan bentuk “distorsi moral dan ekonomi” karena mengurangi daya beli masyarakat miskin dan memperlebar kesenjangan sosial.

Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Islam
Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam merupakan instrumen yang digunakan oleh negara untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran publik dalam rangka mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Secara umum, kebijakan fiskal mencakup dua aspek utama: penerimaan negara (melalui pajak, zakat, kharaj, jizyah, dan sebagainya) serta pengeluaran negara (melalui pembiayaan pembangunan, kesejahteraan sosial, dan pelayanan publik).

Dalam pandangan Islam, kebijakan fiskal tidak sekadar alat stabilisasi ekonomi seperti dalam teori Keynesian, tetapi juga amanah moral dan spiritual yang harus dijalankan sesuai prinsip keadilan (‘adl) dan kemaslahatan (maslahah). Tujuannya bukan hanya menjaga keseimbangan anggaran, melainkan juga menghapus kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan mewujudkan kesejahteraan sosial berlandaskan nilai tauhid.

Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Ayat ini menjadi landasan moral bagi kebijakan fiskal Islam agar kekayaan tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Instrumen fiskal Islam bersumber dari ketentuan syariah dan praktik pemerintahan Islam klasik.

Beberapa di antaranya adalah:

Zakat
Zakat merupakan instrumen fiskal utama dalam Islam yang memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan spiritual. Zakat berperan sebagai mekanisme redistribusi kekayaan yang adil antara kelompok kaya dan miskin. Menurut Al-Ghazali, zakat tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi dengan mengurangi penimbunan.

Kharaj
Kharaj adalah pajak atas tanah yang diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab untuk lahan pertanian di wilayah taklukan. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan fiskal negara tanpa menindas rakyat. Ibn Khaldun menilai kebijakan kharaj yang adil akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran masyarakat.

Jizyah
Jizyah adalah pungutan yang dikenakan kepada non-Muslim sebagai imbalan atas perlindungan negara Islam. Dalam konteks modern, konsep ini dapat diadaptasi menjadi bentuk kontribusi kewarganegaraan yang adil dan proporsional tanpa diskriminasi.
‘Ushr dan Dharihah
‘Ushr adalah pungutan atas hasil pertanian, sedangkan dharibah adalah pajak