Artikel

Ekonomi Politik Kelembagaan dan Kritik terhadap Mainstreamisasi

×

Ekonomi Politik Kelembagaan dan Kritik terhadap Mainstreamisasi

Sebarkan artikel ini
Ekonomi Politik Kelembagaan dan Kritik terhadap Mainstreamisasi
Navis Adnan. | Ist

Potensinews.id – Penelitian ini membahas dinamika ekonomi politik kelembagaan dalam konteks ekonomi Syariah di Indonesia sebagai bentuk kritik terhadap dominasi ekonomi arus utama (mainstream economics).

Pendekatan kelembagaan dalam ekonomi Syariah menolak asumsi rasionalitas individu dan efisiensi pasar yang menjadi basis teori neoklasik, dengan menekankan nilai-nilai maqāṣid al-sharī‘ah, keadilan distributif, dan kesejahteraan sosial (falāh).

Artikel ini mengulas evolusi pemikiran kelembagaan, kritik terhadap mainstreamisasi ekonomi Islam, serta refleksi empiris atas kebijakan ekonomi Syariah di Indonesia.
Kata Kunci: ekonomi politik, kelembagaan, neoliberalisme, mainstreamisasi, ekonomi syariah, maqasid al-syari’ah

Pendahuluan

Ekonomi modern kontemporer masih didominasi oleh paradigma neoklasik yang menempatkan manusia sebagai agen rasional yang berorientasi pada utilitas pribadi. Paradigma ini terbukti gagal menjawab krisis moral, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan yang terjadi di tingkat global dan nasional.

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim menghadapi tantangan dalam mengembangkan ekonomi yang tidak hanya efisien secara pasar tetapi juga adil secara sosial. Ekonomi Syariah hadir sebagai alternatif dengan dasar nilai moral dan spiritual yang melekat dalam ajaran Islam. Namun, sebagian praktik ekonomi Syariah di Indonesia justru cenderung terjebak dalam arus mainstreamisasi ekonomi kapitalistik.

Dengan begitu muncul rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana konsep ekonomi politik kelembagaan dapat menjelaskan hubungan antara nilai-nilai Islam, struktur institusi, dan kebijakan ekonomi dalam konteks ekonomi Syariah di Indonesia?

Mengapa terjadi fenomena mainstreamisasi dalam praktik ekonomi Syariah di Indonesia, dan sejauh mana hal tersebut mempengaruhi otentisitas paradigma ekonomi Islam?

Bagaimana strategi penguatan kelembagaan ekonomi Syariah dapat dilakukan untuk mewujudkan keadilan sosial dan menghindari dominasi paradigma ekonomi arus utama?

Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kembali ekonomi Syariah dari perspektif ekonomi politik kelembagaan agar dapat menghadirkan paradigma ekonomi yang holistik, adil, dan sesuai dengan cita-cita maqāṣid al-sharī‘ah.

Baca Juga:  Memilih Kepala Daerah: Antara Obat dan Racun untuk Masyarakat

Landasan Teoretis Ekonomi Politik Kelembagaan
Ekonomi politik kelembagaan (institutional political economy) berangkat dari pandangan bahwa perilaku ekonomi tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial, norma, dan kekuasaan politik yang membentuknya.

Dalam konteks Islam, pendekatan ini menemukan pijakan kuat karena Islam memandang aktivitas ekonomi sebagai bagian dari sistem sosial yang terintegrasi dengan nilai-nilai moral dan hukum ilahi (tawhidic paradigm).

Veblen, North, dan Polanyi telah menekankan bahwa institusi adalah “aturan main” yang menentukan perilaku ekonomi. Dalam Islam, institusi-institusi seperti zakat, wakaf, hisbah, dan baitul mal bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan pranata moral yang menjaga keseimbangan social.

Pendekatan kelembagaan Syariah memandang keadilan bukan hasil alami pasar, tetapi hasil dari desain kelembagaan yang berorientasi pada maslahah.

Dengan demikian, ekonomi politik kelembagaan Syariah menolak netralitas nilai yang diklaim oleh ekonomi arus utama.
Kritik terhadap Mainstreamisasi Ekonomi dan Relevansinya bagi Ekonomi Syariah

Kritik Epistemologis

Ekonomi arus utama bersifat positivistik: ia mengklaim objektivitas tanpa nilai. Dalam pandangan Islam, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral karena manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab atas keadilan social.

Kritik epistemologis ini menyoroti bahwa ekonomi Syariah tidak cukup hanya mengganti instrumen (misal bunga menjadi bagi hasil), tetapi juga harus mengubah paradigma nilai yang mendasarinya.

Kritik Metodologis

Model matematis dalam ekonomi arus utama tidak mampu menangkap kompleksitas perilaku manusia yang bersifat spiritual dan sosial. Oleh karena itu, ekonomi Syariah perlu mengembangkan metodologi yang bersifat integratif antara kuantitatif dan kualitatif.
Kritik Institusional

Mainstreamisasi ekonomi Syariah terlihat dalam lembaga-lembaga keuangan yang cenderung meniru model konvensional. Misalnya, bank Syariah di Indonesia banyak yang masih berorientasi profit ketimbang kesejahteraan sosial. hal ini menunjukkan kegagalan membangun kelembagaan Syariah yang sesuai maqāṣid.

Ekonomi Politik Kelembagaan dalam Perspektif Syariah

Baca Juga:  Makna Kemerdekaan

Ekonomi politik kelembagaan Syariah berusaha membangun sistem ekonomi yang berlandaskan nilai tawhid, ‘adl (keadilan), dan maslahah (kebaikan umum). Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam desain kelembagaan yang konkret, seperti:
Zakat sebagai instrumen redistribusi pendapatan.
Wakaf produktif untuk pembangunan ekonomi sosial.

Hisbah sebagai pengawasan moral terhadap pasar.

Baitul Mal sebagai pusat keuangan publik berbasis nilai keadilan.

Kelembagaan ini menempatkan ekonomi sebagai sarana mencapai falāh (kesejahteraan akhirat dan dunia). Dalam praktiknya, penguatan kelembagaan ini di Indonesia menjadi isu utama dalam Rencana Induk Ekonomi Syariah Nasional 2019–2024.

Analisis Empiris: Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah di Indonesia

Sejak disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi Islam terbesar. Namun, pertumbuhan ini masih lebih kuat di sektor finansial dibanding sektor riil. Data menunjukkan bahwa 70% pembiayaan bank Syariah masih berorientasi pada konsumsi, bukan produktivitas. Hal ini menandakan bahwa institusi Syariah di Indonesia belum sepenuhnya menjalankan fungsi sosialnya.

Sebaliknya, inisiatif seperti Bank Wakaf Mikro dan Zakat Community Development yang digerakkan oleh BAZNAS menunjukkan bahwa kelembagaan berbasis komunitas lebih efektif dalam mewujudkan keadilan social.

Integrasi Nilai, Kekuasaan, dan Kelembagaan

Dalam ekonomi politik kelembagaan Syariah, kekuasaan dan kebijakan publik menjadi faktor penting. Negara berperan bukan sebagai pengawas netral, tetapi sebagai mudarib (pengelola amanah publik).

Kebijakan ekonomi Islam harus memihak kepada yang lemah (mustadh’afin), sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hasyr [59]:7 tentang distribusi kekayaan agar “tidak beredar di antara orang kaya saja”.
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Artinya:Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. Al-Ḥasyr [59]:7
politik ekonomi Syariah di Indonesia masih terjebak pada orientasi neoliberal yang menempatkan pasar di atas prinsip keadilan sosial.

Baca Juga:  Fenomena Politik Dagang Sapi dalam Pilkada di Indonesia

Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kelembagaan yang mampu mengintegrasikan visi maqāṣid ke dalam kebijakan ekonomi nasional.

Kritik Internal terhadap Ekonomi Syariah di Indonesia

Kritik terhadap mainstreamisasi internal ekonomi Syariah menyoroti adanya isomorfisme institusional—yakni kecenderungan lembaga Syariah meniru sistem konvensional untuk legitimasi pasar.

Ekonomi Syariah di Indonesia masih mengalami dualisme epistemik: di satu sisi mengusung nilai Islam, di sisi lain mengadopsi struktur kapitalistik. Akibatnya, transformasi sosial yang diharapkan tidak terwujud secara signifikan.

Untuk itu, perlu adanya revitalisasi kelembagaan dengan memperkuat integrasi antara nilai, struktur, dan kebijakan. Pendekatan institutional political economy dapat membantu memahami bagaimana kekuasaan, ideologi, dan nilai bekerja dalam membentuk arah kebijakan ekonomi Syariah.

Kesimpulan

Ekonomi politik kelembagaan dalam perspektif Syariah merupakan paradigma alternatif yang menempatkan moralitas dan keadilan sebagai fondasi ekonomi. Kritik terhadap mainstreamisasi menegaskan bahwa ekonomi tidak dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan dan nilai ilahiah.

Dalam konteks Indonesia, pembangunan ekonomi Syariah harus melampaui imitasi terhadap model konvensional dan bergerak menuju transformasi kelembagaan yang berpihak pada keadilan sosial dan kesejahteraan umat.

Oleh: Navis Adnan