Opini

Karya Media Sosial vs Karya Jurnalistik, Beda Tipis tapi Jauh

×

Karya Media Sosial vs Karya Jurnalistik, Beda Tipis tapi Jauh

Sebarkan artikel ini
Karya Media Sosial vs Karya Jurnalistik, Beda Tipis tapi Jauh
Junaidi Ismail, S.H., Wartawan Utama. | Ist

Potensinews.id – Di era ketika semua orang bisa memegang microphone digital di tangannya, batas antara karya media sosial dan karya jurnalistik semakin kabur. Siapa saja kini bisa menulis, mengunggah, mempengaruhi, bahkan membentuk opini publik hanya lewat gawai. Namun, apakah semua itu otomatis dapat disebut karya jurnalistik? Tentu tidak.

Ada setidaknya tujuh perbedaan mendasar yang membuat karya media sosial dan karya jurnalistik berdiri pada pondasi yang sangat berbeda. Perbedaan ini penting dipahami masyarakat agar tidak mudah terjebak pada bias informasi atau menelan bulat-bulat konten yang viral.

1. Tujuan Utama: Ekspresi Diri vs Kepentingan Publik

Konten media sosial lahir dari kebutuhan manusia untuk berekspresi. Ia adalah ruang digital untuk menuangkan perasaan, pandangan pribadi, hiburan, hingga frustasi yang sulit ditahan. Tidak ada tuntutan akurasi, tidak ada kewajiban verifikasi.

Sebaliknya, jurnalistik hadir untuk publik. Ia membawa misi: mengedukasi, memberi informasi, menjaga akuntabilitas kekuasaan, dan menjadi kontrol sosial. Tujuannya bukan sekadar mengekspresikan, tetapi memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar, utuh, dan penting.

Baca Juga:  Wartawan Harus Egaliter

2. Proses Produksi: Spontan vs Sistematis

Di media sosial, satu jempol bisa membuat konten langsung terkirim ke seluruh dunia. Prosesnya cepat dan tidak memerlukan checking berkali-kali.

Namun dalam jurnalistik, sebuah berita lahir dari perjalanan panjang: liputan, wawancara, verifikasi, penulisan, penyuntingan, publikasi.

Ada prosedur redaksional. Ada disiplin kerja. Ada pertanggungjawaban dari setiap kalimat yang ditulis.

3. Standar Etika: Bebas vs Terikat Kode Etik

Media sosial tidak mengenal standar etik baku. Kontennya bergantung pada karakter pembuatnya, bisa informatif, tetapi bisa juga penuh emosi, bahkan manipulatif.

Sementara itu, wartawan terikat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Pers. Mereka wajib: memisahkan opini dari fakta, menyajikan informasi berimbang, menghormati narasumber, menghindari fitnah dan ujaran kebencian.
Setiap pelanggaran bisa berujung sanksi etik hingga hukum.

4. Sumber Informasi: Pengalaman Pribadi vs Fakta Terverifikasi

Konten media sosial sering bersumber dari opini pribadi atau potongan informasi yang tak jelas asal-usulnya. Tak jarang hanya berdasarkan “katanya” atau potongan video pendek yang menyesatkan.

Baca Juga:  Krisis Petani Singkong Berdampak pada Perekonomian Lokal Lampung

Di dunia jurnalistik, sumber harus jelas dan dapat diverifikasi. Prinsip cover both sides wajib dijalankan: satu isu, harus menawarkan berbagai perspektif. Keakuratan bukan pilihan, itu keharusan.

5. Dampak dan Tanggung Jawab: Viral Tanpa Kendali vs Bertanggung Jawab Secara Etik dan Hukum

Media sosial memiliki efek luar biasa cepat: satu unggahan bisa memicu amarah publik atau perdebatan viral dalam hitungan menit. Ironisnya, banyak yang tidak bertanggung jawab atas dampaknya.

Sebaliknya, karya jurnalistik memikul beban sosial. Setiap wartawan harus siap mempertanggungjawabkan tulisannya, baik secara moral maupun hukum. Karena itu, kehati-hatian adalah bagian dari jantung profesi.

6. Format Penyajian: Fleksibel vs Berkaidah

Konten media sosial bebas bereksperimen:
meme, reels, video pendek, status galau, hingga postingan provokatif.

Karya jurnalistik justru terikat pada teknik penyajian yang sistematis:
5W+1H, struktur piramida terbalik, genre berita, feature, opini, hingga investigasi. Format bukan sekadar gaya, melainkan bagian dari upaya menjaga kejelasan dan konsistensi informasi.

7. Nilai Berita: Viralitas vs Kebermaknaan

Media sosial mengejar sensasi. Yang lucu, menggemaskan, kontroversial, atau memicu emosi biasanya cepat viral.

Baca Juga:  Demokrasi Sejati di Lampung

Jurnalistik mengejar news value, bukan sensasi: aktualitas, dampak, kedekatan, relevansi, dan tentunya kebenaran.

Di sinilah perbedaan paling mencolok: viral belum tentu penting, penting belum tentu viral.

Karya media sosial dan karya jurnalistik kini hidup berdampingan dalam ekosistem digital yang sama. Media sosial membantu menyebarkan informasi dengan cepat, sedangkan jurnalistik menjaga kualitas dan integritas informasi tersebut. Keduanya bisa menjadi mitra kuat bila digunakan dengan bijak.

Namun Masyarakat harus paham perbedaannya. Jangan samakan konten viral dengan berita. Jangan bandingkan unggahan emosional dengan laporan investigasi. Dan jangan menganggap semua yang beredar di layar ponsel sebagai kebenaran.

Dalam dunia yang semakin penuh informasi, kemampuan membedakan inilah yang akan menentukan apakah kita menjadi masyarakat yang tercerahkan atau justru yang tersesat.

Oleh: Junaidi Ismail, S.H.
Wartawan Utama