Opini

Anggaran Pengawasan Fantastis DPRD Kota Metro: Alarm Bahaya Tata Kelola

×

Anggaran Pengawasan Fantastis DPRD Kota Metro: Alarm Bahaya Tata Kelola

Sebarkan artikel ini
Anggaran Pengawasan Fantastis DPRD Kota Metro: Alarm Bahaya Tata Kelola
Anggaran Pengawasan Fantastis DPRD Kota Metro: Alarm Bahaya Tata Kelola. Foto: Ist

Potensinews.id – Anggaran sejatinya adalah wajah dari keberpihakan. Ia merefleksikan ke mana arah kekuasaan bekerja dan siapa yang menjadi prioritas utama.

Karena itu, ketika publik membaca bahwa DPRD Kota Metro mengalokasikan Rp4,67 miliar untuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan tahun 2025, alarm kewarasan publik pun berbunyi nyaring.

Angka ini bukan sekadar besar. Ia fantastis, bahkan mencengangkan. Kota Metro kini tercatat sebagai daerah dengan anggaran pengawasan DPRD tertinggi di Provinsi Lampung. Sebuah rekor yang ironis bagi kota dengan luas wilayah hanya 73,21 km² dan jumlah penduduk sekitar 174 ribu jiwa.

Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apa yang sebenarnya diawasi hingga membutuhkan biaya sebesar itu?

Logika Anggaran yang Terbalik

Dalam dokumen resmi, anggaran pengawasan DPRD Kota Metro dibagi ke tiga bidang utama: pemerintahan dan hukum, kesejahteraan rakyat, serta perekonomian. Pembagian ini, secara normatif, memang sesuai dengan fungsi pengawasan legislatif. Namun yang menjadi soal bukan pada nomenklaturnya, melainkan pada skala anggarannya.

Bandingkan dengan Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini memiliki wilayah hampir 62 kali lebih luas dan jumlah penduduk sekitar delapan kali lebih banyak dibanding Kota Metro. Namun, anggaran pengawasan DPRD Lampung Tengah hanya sekitar Rp939 juta. Selisihnya terlalu jauh untuk diabaikan.

Baca Juga:  Saatnya Kembali ke Alam untuk Bumi yang Lebih Lestari

Jika pengawasan diartikan sebagai intensitas, kompleksitas, dan beban kerja, maka secara logika publik, daerah yang lebih luas dan lebih padat penduduk semestinya membutuhkan biaya pengawasan yang lebih besar. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Logika anggaran terbalik, dan publik berhak curiga.

Pengawasan atau Kenyamanan Kekuasaan?

Pengawasan DPRD idealnya adalah instrumen kontrol terhadap jalannya pemerintahan: memastikan program tepat sasaran, anggaran efisien, dan kebijakan berpihak pada rakyat. Pengawasan bukan sekadar agenda perjalanan dinas, rapat koordinasi berulang, atau laporan administratif yang berhenti di meja birokrasi.

Di titik inilah publik mulai bertanya dengan nada lebih kritis: apakah anggaran jumbo ini benar-benar berbanding lurus dengan kualitas pengawasan? Ataukah justru menjelma menjadi ruang nyaman bagi elite legislatif yang jauh dari denyut kebutuhan rakyat?

Ironisnya, di saat anggaran pengawasan membengkak, berbagai persoalan mendasar masih menghantui Kota Metro: pelayanan publik yang belum optimal, persoalan ekonomi rakyat kecil, hingga kebutuhan dasar yang menuntut kehadiran negara secara nyata. Ketimpangan ini menimbulkan kesan bahwa anggaran lebih sibuk mengawasi kertas daripada realitas di lapangan.

Baca Juga:  Karya Media Sosial vs Karya Jurnalistik, Beda Tipis tapi Jauh

Transparansi Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Dalam sistem demokrasi, DPRD bukan lembaga yang kebal kritik. Justru sebaliknya, ia adalah institusi yang paling wajib diawasi oleh publik. Ketika anggaran pengawasan mencapai angka miliaran rupiah, maka tuntutan transparansi harus naik satu tingkat lebih tinggi.

Publik berhak tahu secara rinci:

Kegiatan apa saja yang dibiayai?

Apa output konkret dari pengawasan tersebut?

Masalah apa yang berhasil dicegah atau diperbaiki?

Dan yang terpenting, apa manfaat langsungnya bagi masyarakat Kota Metro?

Tanpa jawaban terbuka dan terukur, anggaran pengawasan berpotensi berubah menjadi simbol pemborosan yang dilegitimasi oleh prosedur.

Krisis Sensitivitas Anggaran

Lebih dari sekadar persoalan teknis, kasus ini menunjukkan krisis sensitivitas anggaran. Di tengah tuntutan efisiensi, penghematan belanja, dan tekanan ekonomi masyarakat, angka Rp4,67 miliar terasa seperti tamparan bagi akal sehat publik.

Baca Juga:  Ketua DPRD Metro Ria Hartini Resmi Dinikahi AKBP M Yamil, Kapeka Polda Lampung

Anggaran bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal etika kekuasaan. Legal belum tentu pantas. Sah secara aturan belum tentu adil secara moral. Ketika rakyat diminta berhemat, sementara pengawasan elite justru membengkak, maka jarak antara penguasa dan yang dikuasai semakin menganga.

Menunggu Jawaban, Bukan Retorika

Kini bola ada di tangan DPRD Kota Metro. Publik tidak membutuhkan pembelaan normatif atau dalih administratif. Yang dibutuhkan adalah penjelasan jujur, terbuka, dan berbasis data. Jika anggaran ini memang rasional dan berdampak, tunjukkan hasilnya. Jika tidak, keberanian untuk mengoreksi diri adalah bentuk pengawasan terbaik terhadap demokrasi itu sendiri.

Sebab pada akhirnya, uang rakyat bukan angka di APBD, melainkan amanah. Dan setiap amanah yang dikelola tanpa kepekaan publik, cepat atau lambat, akan berubah menjadi beban sejarah.

 

Oleh: Naovriansyah

Tokoh Pemuda Lampung