Bandar Lampung (Potensinews.id) – Kasus penganiayaan terhadap salah satu siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Bandar Lampung, IM, yang dilakukan oleh enam teman semadrasahnya pada 20 September 2022 lalu, hingga kini masih dalam proses penyelidikan oleh Polresta Bandar Lampung.
Meski peristiwa antar-siswa tersebut dilakukan di luar madrasah, namun sejak persoalan itu muncul, pihak madrasah sudah mencoba berulang kali memediasi untuk dilakukan perdamaian antara terduga pelaku dan korban dengan melibatkan para orangtua siswa tersebut.
Namun, hingga mediasi yang ketujuh kalinya pada 24 Oktober 2022, belum menemukan titik terang. Bahkan, para orangtua terduga pelaku penganiayaan terhadap IM mengaku pasrah, karena tidak menyanggupi persyaratan yang diberikan orangtua IM.
Seperti diketahui bahwa persoalan penganiayaan tersebut bermula dari hilangnya sebuah dompet milik salah satu rekan para pelaku di tempat tinggal salah satu rekan pelaku. Diduga dompet tersebut diambil oleh korban IM, sehingga membuat para terduga pelaku kesal.
Wakil Kepala Bidang Kesiswaan MAN 1 Bandar Lampung, Joko Dwi Surawu, S.Pd., M.M, mengatakan setidaknya ada tujuh kali pertemuan antara pihaknya dan terduga pelaku, korban, dan para orangtua siswa tersebut untuk dilakukan perdamaian.
Hal itu dilakukan agar persoalan antar-siswa tersebut tak berlanjut, sehingga proses pembelajaran para siswa dapat berlangsung dengan baik. Namun, katanya hingga kini belum menemukan titik terang perdamaian antara terduga pelaku dan korban.
“Kami sudah tujuh kali mencoba melakukan mediasi, namun hingga kini belum membuahkan hasil,” ujar Joko Dwi Surawu, saat jumpa pers dengan awak media mengenai penganiayaan tersebut, di MAN 1 Bandar Lampung, Senin (31/10/2022).
Diketahui, jumpa pers dilakukan MAN 1 Bandar Lampung terkait kasus penganiayaan yang menimpa salah satu siswa oleh enam siswa lainnya, ini merupakan bentuk klarifikasi atas pemberitaan yang telah beredar di sejumlah media di Lampung yang bersumber dari orangtua dan pengacara korban.
Joko mengatakan, adapun ketujuh kali penyelesaian persoalan tersebut, yakni dimulai pada 21 September atau sehari pasca-peristiwa terjadi, pihak madrasah memanggil pada terduga pelaku penganiayaan untuk mencari tahu persoalan tersebut.
Setelah mendengarkan pengakuan terduga pelaku, kemudian pada 22 September pihak madrasah memanggil orangtua keenam terduga pelaku untuk mencari jalan keluar penyelesaian. Hasilnya, sepakat akan bertemu dengan orangtua korban pada 26 September.
Kemudian, pihak madrasah menghubungi orangtua korban untuk bertemu dengan orangtua terduga pelaku pada tanggal 26 Oktober. Orangtua korban bersedia akan datang ke MAN 1 Bandar Lampung pada tanggal yang telah ditentukan.
Setelah para orangtua terduga pelaku sudah berada di madrasah pada tanggal itu, namun sayang orangtua korban tidak muncul dan secara tiba-tiba membatalkan pertemuan dengan para orangtua terduga pelaku dengan alasan tertentu.
“Padahal para orangtua terduga pelaku sudah ada itikad baik untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Bahkan sudah mengakui bahwa anak-anaknya salah telah melakukan penganiayaan terhadap IM. Namun pertemuan itu tidak terjadi,” ujar dia.
Mendapati belum adanya penyelesaian antara terduga pelaku dan korban, kemudian pada 29 September, pihak madrasah yang diwakili kepala dan wakil kepala serta pengurus asrama MAN 1 Bandar Lampung, berinisiatif mendatangi kediaman orangtua korban.
Selain membicarakan tentang penyelesaian persoalan tersebut, perwakilan MAN 1 Bandar Lampung juga memberikan tali asih dari para orangtua terduga pelaku sebesar Rp3,5 juta untuk bantuan sementara biaya pengobatan korban.
“Uang sebesar tersebut diterima dengan baik oleh keluarga korban. Itu menandakan adanya itikad baik dari para orangtua terduga pelaku untuk mencoba menyelesaikan masalah tersebut,” ujar dia.
Setelah dua pekan berlalu atau pada 17 Oktober 2022, tiba-tiba pihak madrasah mendengar kabar bahwa keenam terduga pelaku telah dipanggil pihak Polresta Bandar Lampung untuk dimintai keterangan terkait penganiayaan tersebut.
Tak hanya keenam terduga, namun terdapat lima siswa lain yang dipanggil ke Polresta untuk dimintai keterangan. “Jadi totalnya ada 11 anak. Enam anak sebagai terduga pelaku dan lima anak dijadikan sebagai saksi,” kata dia.
Mendengar informasi tersebut, lalu pihak madrasah bersama orangtua keenam terduga pelaku, pada 17 Oktober tersebut, berinisiatif untuk kembali menemui orangtua korban di kediamannya. Namun sayang, pihak orangtua korban tidak bersedia ditemui.
“Padahal selain para orangtua terduga pelaku, yang ke sana juga kepala dan wakil kepala madrasah dengan didampingi guru bimbingan konseling. Namun mereka tidak bersedia ditemui dengan alasan persoalan ini telah diserahkan kepada pengacara mereka,” katanya.
Mendapati respons tersebut, sepekan kemudian atau pada 22 Oktober pihak madrasah dan orangtua terduga pelaku, meminta bantuan kepada salah seorang perantara yang katanya kenal dengan keluarga korban untuk kembali ke rumah orangtua korban.
Katanya, perantara tersebut diterima baik oleh orangtua korban. Di sana terjadi pembicaraan sekira 1,5 jam untuk membicarakan perdamaian, termasuk konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima keluarga terduga pelaku.
“Intinya pembicaraan itu supaya kasus ini tidak berlanjut dan bisa berdamai dengan segala konsekuensi-konsekwesinya. Waktu itu orangtua terduga pelaku berfikir akan berdamai dengan korban. Itu harapannya,” kata dia.
Kemudian, dua hari berikutnya atau pada 24 Oktober, pengacara keluarga korban mendatangi madrasah untuk membicarakan jalan damai. Pada saat itu, pengacara keluarga korban menawarkan empat opsi perdamaian.
Opsi pertama yaitu keenam pelaku diminta ke luar dari madrasah, sedangkan korban masih tetap berada di madrasah. Opsi kedua, korban ke luar dari madrasah, sementara keenam terduga pelaku tetap di madrasah tersebut namun disertai dengan konsekuensi penyerta. Namun ia tak membeberkan konsekuensi penyerta tersebut
Sedangkan opsi ketiga, kedua belah pihak masih sama-sama di madrasah, dengan catatan pihak madrasah menjamin berkewajiban memberikan perhatian ekstra terhadap perkembangan anak terkait hubungan keduabelah pihak.
Sementara opsi keempat adalah kedua belah pihak sama-sama dikeluarkan dari sekolah. Namun opsi tersebut disertai dengan segala konsekuensinya.
“Dari empat opsi yang ditawarkan tersebut, kami sepakat memilih opsi ketiga yang menurut kami opsi yang terbaik karena itu ranah kami. Dan kami siap memantau para siswa tersebut agar hubungan emosional keduabelah pihak ke arah yang positif,” kata Joko.
Selain hal tersebut, sambungnya, pihak orangtua terduga pelaku juga sepakat untuk menanggung segala biaya pencabutan perkara di kepolisian, serta akan memberikan tali asih sesuai kemampuan orangtua terduga pelaku.
Akan tetapi, disaat orangtua terduga pelaku mendengar besaran biaya tali asih yang akan dibebankan, orangtua terduga pelaku menyerah tidak mampu memberikan sejumlah uang yang dimaksud orangtua korban.
“Kabarnya orangtua terduga pelaku tidak bisa menyanggupi permintaan dari orangtua korban. Akhirnya orangtua terduga pelaku pasrah dan ikhlas untuk anaknya di penjara karena mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu,” tutur dia. (***)