Potensinews.id – Rekonsiliasi dan kue kekuasaan.
Sejarah baru telah dicatatkan dalam Teater hukum Mahkamah Konstitusi, ketika untuk pertama kalinya telah terjadi Dissenting Opinion (perbedaan pendapat hakim) dalam putusan Hasil Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Dimana 3 Hakim Konstitusi yaitu Prof. Saldi Isra, Prof. Arif Hidayat, dan Prof. Enny Nurbaningsih mengemukakan beberapa pandangan yang berbeda terkait hasil sidang yang telah berlangsung selama 13 hari yang mencakup beberapa hal.
Yaitu terkait bagaimana keadilan substantif tidak bisa meninggalkan keadilan prosedural, ortodoks dan konservatif hukum, rule of law dan rule of etic, hubungan hukum dengan politik, dugaan adanya intervensi sentral cabang kekuasaan eksekutif, dugaan keberpihakan pada pasangan calon tertentu, dan Bantuan Sosial.
Meski demikian, Putusan Perselisihan Hasil Pemilu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah konstitusi melalui amar putusannya oleh 5 Hakim Konstitusi telah menolak keseluruhan permohonan dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 Anies-Muhaimin dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 03 Ganjar-Mahfud.
Pasca sidang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 April 2024, salinan putusan telah ditandatangani oleh Yuri Kemal Fadullah selaku Sekretaris Tim Pembela pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo-Gibran sebagai bukti integritas dan kepastian proses hukum yang telah mendelegitimasi kemenangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu dan pada tanggal 24 April 2024, KPU secara resmi telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih Republik Indonesia periode 2024-2029.
Hal tersebut telah mendeskripsikan akhir dari proses panjang pelaksanaan Pemilu 2024 dalam hal Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Terdapat dua hal penting dalam setiap akhir Pilpres, yaitu berkenaan dengan Rekonsiliasi dan penyusunan kabinet yang penulis sebut dengan pembagian “Kue Kekuasaan”.
Rekonsiliasi sangat penting dilakukan karena demi menghindarkan dari terpecah belahnya rakyat Indonesia yang disimpulkan dalam menjaga keutuhan bangsa yang dirujuk pada sila 3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia.
Rekonsiliasi ini pun biasanya tidak sedikit berdampak bagi elit politik yang mengalami kekalahan akan tetapi mendapat jatah kue kekuasaan.
Nomenklatur “Kue Kekuasaan” cenderung ekstrem dan terkadang bisa dimaknai dalam hal konotasi negatif, tetapi begitulah kenyataannya jika kita melihat bahwa biasanya kecenderungan deal-dealan politik bagi-bagi jabatan sebagai akomodasi politik yang dibawa sebelum pengusungan sudah menjadi rahasia umum dalam ekosistem politik Indonesia.
Penyusunan hingga pengumuman Kabinet selalu dinanti dan menjadi sesuatu yang seksi untuk disoroti, melihat bahwa kesuksesan pemerintahan kedepan juga tergantung dengan kinerja para pembantu Presiden.
Maka dari itu, penulis akan mengajak untuk melihat bagaimana rekonsiliasi bukan hanya diperuntukan bagi kaum elit politik akan tetapi sebaik-baiknya bagi kemaslahatan rakyat Indonesia dan penyusunan kabinet yang seyogyanya bukan hanya sekedar bagi-bagi jabatan.
Akan tetapi pemilihan pembantu presiden selayaknya wajib dipertimbangan dengan matang dengan sudut pandang yang komprehensif.
Rekonsiliasi Kebangsaan Johan Galtung dalam Resolusi Konflik mengatakan rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan.
Mengacu pada pengertian di atas, rekonsiliasi merupakan hal yang vital dalam upaya membangun kembali tatanan kehidupan maupun moral masyarakat yang telah mengalami gesekan dalam pertempuran elektoral pasca berlangsung Pemilu 2024 kali ini wabil khusus terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dimana nahkoda baru Republik Indonesia telah ditetapkan oleh KPU atas kehendak rakyat yang diamanahkan kepada Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Rekonsiliasi bukanlah gerakan politik baru di Indonesia, pada Pemilu 2019 rekonsiliasi telah diberlakukan oleh Jokowi-Ma’ruf Amin yang kala itu mengalahkan Prabowo-Sandiaga Uno dengan merangkul lawan politiknya untuk masuk kabinet Indonesia Maju dalam rangka bersama-sama membangun bangsa Indonesia.
Menurut hemat penulis, Rekonsiliasi sebagaimana yang dimaksud tidak diperuntukkan hanya sebatas golongan saja yang mengakomodir kepentingan elit lawan politik dengan berbagi jabatan akan tetapi menjadi rekonsiliasi kebangsaan dalam meramu kembali tatanan pola interaksi, sikap, nilai, dan identitas akibat gesekan yang terjadi dari tataran elit politik hingga akar rumput maupun dalam mengakomodir aspirasi yang telah dititipkan kepada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak terpilih.
Disamping itu, sistem pemerintahan Indonesia yang menganut paham negara demokrasi yang dalam fungsinya menerapkan sistem check and balance dalam mengayomi bahtera kenegaraan sudah sepatutnya rekonsiliasi ini bukan dalam rangka menghilangkan fungsi tersebut.
Dalam realitas politik, oposisi harus tetap kuat dalam pengakuan dan pelaksanaan demokrasi disuatu negara jikalau pemerintahan berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang berjalan secara efektif sejatinya kita telah menghapus tinta emas reformasi dan kembali ke dalam kolam otoritarianisme dengan sayap oligarkis.
Sementara itu, jika kita tarik di beberapa tahun kebelakang mengenai buah rekonsiliasi dalam pola hubungan cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif menggambarkan sebuah paradoks demokrasi yang justru mengindikasikan kecenderungan kartel politik yakni diantara kedua lembaga tersebut cenderung bersikap saling menguntungkan satu sama lain baik secara terselubung maupun manifes, yang pada akhirnya menyebabkan kontrol kepada kekuasaan tidak berjalan efektif.
Kabinet Anti “Masuk Angin”
Istilah kabinet berasal dari bahasa Perancis “Cabinet” yang artinya sekelompok ahli yang bekerja sebagai penasihat yang membantu kepentingan raja.
Pertama kali negara yang mempergunakan istilah ini adalah Perancis pada abad ke-17, untuk menamakan kelompok kerjanya sebagai “Cabinet” yang pada sistem ketatanegaraan modern dikenal dengan sebutan “Menteri” dalam membantu kepentingan kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pembentukan kabinet di Indonesia merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
Disamping itu, keberadaan sistem multipartai yang disandingkan dengan sistem presidensial membuat Presiden memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas politik yang salah satunya bisa kita lihat pada momentum pemilihan kabinet pasca Pemilu dilaksanakan.
Menurut Mahmuzar M.Hum dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen menyatakan pembentukan kabinet yang dilakukan Presiden pasca dilantik sebagaimana menjadi ciri dari keberadaan sistem presidensial yang menjadi salah satu tugas Presiden yang tentu harus memiliki banyak pertimbangan.
Dalam hal membentuk kabinet, Presiden harus mempertimbangkan beberapa hal seperti partai politik pendukung, stabilitas roda pemerintahan kedepan, dan potensi calon Menteri terkait bidang yang akan ditangani.
Penekanan dalam konteks keahlian pun wajib dikedepankan, sebagaimana yang tertuang dalam hadits Bukhori yang menerangkan “Jika urusan diserakan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” melihat pengelolaan kementerian merupakan sesuatu yang akan diperuntukan bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak.
Menurut hemat penulis, integritas dan moralitas calon Menteri juga patut disoroti melihat hampir dari setiap rezim pemerintahan ada saja Menteri yang melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam kementerian yang dipimpin sebagaimana penulis sebut dengan “Masuk Angin”.
Kabinet anti “Masuk Angin” yang penulis sebut merupakan alarm preambule dalam Presiden memilih calon Menteri dalam penyusunan kabinet melihat pernyataan yang telah penulis sampaikan begitu kompleks dan vitalnya bagian ini bukan sekedar pembagian “Kue Kekuasaan” akan tetapi banyak hal yang wajib menjadi pertimbangan agar para pembantu Presiden dapat mensukseskan program kerja yang telah dilontarkan dalam janji politiknya demi terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Bila perlu, sebelum penetapan kabinet dalam mengarungi pemerintahan periode 2024-2029 Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran mewajibkan para calon Menteri untuk mengkonsumsi vitamin anti “Masuk Angin”.
Oleh : Ragil Jaya Tamara SH
Alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung