Potensinews.id – GUSDURian Lampung bawa gagasan ke Jakarta, Rumah Ibadah Hijau dan solusi intoleransi.
Komunitas GUSDURian Lampung melangkah ke forum nasional dengan membawa dua gagasan penting untuk kemajuan bangsa, Rumah Ibadah Hijau dan solusi untuk masalah intoleransi.
Partisipasi mereka dalam Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian 2025 di Jakarta ini diharapkan dapat menginspirasi gerakan serupa di seluruh Indonesia.
Acara yang berlangsung pada 29–31 Agustus 2025 ini menjadi wadah bagi 1.500 hingga 2.000 penggerak, akademisi, dan pegiat masyarakat sipil dari berbagai daerah untuk berdiskusi tentang gagasan dan nilai-nilai yang diusung oleh mendiang KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur.
Koordinator GUSDURian Lampung, Yogi Prazani, menjelaskan bahwa inisiatif Rumah Ibadah Hijau dirancang untuk menjadikan tempat ibadah lebih dari sekadar ruang spiritual.
“Kami mendorong lahirnya ide-ide segar terkait peran agama dalam mengatasi problem lingkungan,” ujar Yogi, Kamis, 28 Agustus 2025.
Menurutnya, inisiatif ini bertujuan agar masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya dapat menjadi pusat edukasi dan aksi lingkungan yang konkret. Yogi mencontohkan, “Bayangkan masjid atau gereja yang tidak hanya menyemangati spiritualitas, tetapi juga mengajak jemaat menanam, daur ulang, dan menjaga lingkungan sekitar.”
Gagasan ini berupaya menyatukan nilai-nilai religius dengan tanggung jawab terhadap lingkungan, menciptakan sinergi antara iman dan tindakan nyata.
Melalui forum nasional ini, GUSDURian Lampung berharap ide tersebut dapat menyebar dan menginspirasi pembangunan rumah ibadah ramah lingkungan di seluruh Indonesia.
Selain isu lingkungan, GUSDURian Lampung juga menyoroti masalah intoleransi yang masih menjadi tantangan di berbagai daerah.
Direktur KLASIKA, Ahmad Mufid, yang juga penggerak GUSDURian Lampung, berpendapat bahwa akar intoleransi seringkali bukan hanya perbedaan keyakinan, melainkan masalah epistemologi cara memahami dan mendistribusikan pengetahuan.
“Sering kali, intoleransi berakar pada problem epistemologi cara kita memahami, mengelola, dan mendistribusikan pengetahuan,” jelas Mufid.
Ia mengutip pandangan Gus Dur bahwa “Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.
Untuk mengatasi hal ini, Mufid mendorong setiap komunitas dan lembaga untuk terus membangun ruang dialogis di mana perbedaan tidak berujung pada konflik, melainkan menjadi peluang untuk saling memahami.
TUNAS GUSDURian 2025 ini akan menjadi forum penting untuk mendiskusikan gagasan-gagasan ini.
Agenda kegiatan mencakup Konferensi Pemikiran Gus Dur dengan tiga tema utama: Agama sebagai Etika Sosial, Demokrasi dan Supremasi Sipil, serta Keadilan Ekologi.
Acara juga akan menampilkan musyawarah gerakan dan festival karya kreatif dari komunitas-komunitas seluruh Indonesia, menunjukkan bagaimana nilai-nilai Gus Dur diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan