Berita

Eks Aktivis 1998 Soroti Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

×

Eks Aktivis 1998 Soroti Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Sebarkan artikel ini
Eks Aktivis 1998 Soroti Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Eks aktivis 1998, Cahyalana, menyampaikan pandangannya terkait wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto. Ia menekankan pentingnya melihat sejarah secara utuh dan objektif, bukan parsial. Dok: Ist

Potensinews.id — Eks aktivis 1998, Cahyalana, menilai bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, tidak seharusnya hanya dipandang dari sisi pro dan kontra. Menurutnya, penilaian terhadap sosok Soeharto harus dilakukan secara utuh dan objektif, bukan berdasarkan potongan sejarah tertentu.

“Silakan saja pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto selama memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Yang menarik justru adalah siapa yang menolak rencana itu dan apa motifnya,” ujar Cahyalana.

Ia mempertanyakan apakah penolakan tersebut datang dari kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, termasuk kemungkinan dari kalangan eks-PKI atau pihak yang disebutnya sebagai reformis gadungan.

Menurut Cahyalana, jika pihak yang menolak mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi, maka penolakan itu juga semestinya diikuti dengan desakan untuk mencabut gelar Pahlawan Nasional Presiden Soekarno.

Baca Juga:  Yayasan Salam Palestina Salurkan Hewan Kurban untuk Pengungsi di Suriah dan Yordania

“Agar adil dan objektif, jangan melihat sejarah secara parsial dan tendensius terhadap pihak lain,” tegasnya.

Cahyalana menjelaskan bahwa untuk memahami kepemimpinan Soeharto dan dinamika era Orde Baru, masyarakat harus melihat kondisi politik dan keamanan nasional saat itu. “Bangsa ini menghadapi berbagai perlawanan ideologis dan gerakan separatis. Bila Soeharto tidak bersikap tegas, mungkin hari ini Indonesia tidak lagi berdiri sebagai satu kesatuan NKRI,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa gerakan mahasiswa 1998 memang merupakan gerakan murni yang menuntut perubahan politik hingga akhirnya memaksa Soeharto mundur. Namun, ia menilai bahwa konsekuensi berupa penangkapan, penculikan, hingga kekerasan adalah bagian dari dinamika sejarah.

Di era reformasi saat ini, Cahyalana menilai sebagian pihak yang mengaku sebagai pejuang demokrasi telah kehilangan fokus. “Seharusnya mereka mengawal pemerintahan agar tetap berpihak pada rakyat, bukan terus memperdebatkan soal pantas tidaknya Soeharto menjadi Pahlawan Nasional,” katanya.

Baca Juga:  Dominasi Kekerasan Seksual Anak Warnai Perkara di Posbakum PN Tanjungkarang Triwulan Awal 2025

Cahyalana menutup pandangannya dengan mengajak publik menelaah sejarah secara jernih. “Pertanyaannya sederhana: apakah kondisi bangsa hari ini lebih baik dari era Soeharto? Jika tidak, maka persoalannya bukan pada gelar pahlawan, tetapi pada kegagalan kita memahami sejarah dan cita-cita reformasi,” pungkasnya.