BERITA

Pengorbanan Tanpa Batas Siti Khodijah

×

Pengorbanan Tanpa Batas Siti Khodijah

Sebarkan artikel ini
Pengorbanan Tanpa Batas Siti Khodijah
Siti Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad SAW, adalah tokoh yang memainkan peran penting dalam sejarah Islam. Foto: Ilustrasi

Potensinews.id – Pengorbanan tanpa batas Siti Khadijah binti Khuwailid. 

Siti Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad SAW, adalah tokoh yang memainkan peran penting dalam sejarah Islam. 

Kehidupannya yang penuh dengan perjuangan, kesetiaan, dan keberanian telah meninggalkan jejak yang abadi dalam sejarah umat Islam.

Siti Khadijah lahir di Mekkah sekitar tahun 555 Masehi, dari keluarga bangsawan Quraisy. 

Dia tumbuh menjadi seorang pedagang yang sukses dan berpengaruh di Mekkah, sehingga dijuluki “Al-Tahira” (yang suci) dan “Al-Adilah” (yang adil). 

Mari sejenak bertafakur untuk mengenang wafatnya ibunda kita/umat muslim Siti Khadijah, istri kesayangan Rasulullah Muhammad Saw. 

Siti Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, 3 tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. 

Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

Permintaan Terakhir 

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasulullah SAW.

“Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu”

“Jauh dari itu ya Khadijah, Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah

Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik,

“Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur.

“Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku”

Mendengar itu Rasulullah berkata,

“Wahai Khadijah, Allah SWT menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga”

Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Rasulullah. 

Baca Juga:  Karang Indah Mall Resmi Buka, Hadirkan Konsep Belanja 24 Jam di Bandar Lampung

Didekapnya istri Beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Beliau dan semua orang yang ada disitu.

Kain Kafan dari Allah

Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. 

Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya,

Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?”

“Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan”  jawab Jibril. Jibril berhenti berkata dan kemudian menangis.

Rasulullah bertanya, “Kenapa, ya Jibril?”

“Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” sahut Jibril.

Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah,

“Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu,”

“Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.”

“Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?”

Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.

Seluruh kekayaan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. 

Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. 

Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.

Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan diantaranya dengan kulit kayu.

Baca Juga:  PNM Lampung Tingkatkan Volume Pembiayaan, Angkat Produk Lokal dan Beri Bantuan Sosial Pada Masyarakat

Rasulullah kemudian berdoa kepada Allah,

“Ya Allah, Ya Ilahi Rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. 

“Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah.

“Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?”

Tiba-tiba Ali berkata, Aku, Ya Rasulullah!

Pengorbanan Tanpa Batas Siti Khodijah 

Dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. 

Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah bersabda,

“Wahai Khadijah tetaplah kamu ditempatmu.”

Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi.

Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya. 

Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah RA.

Kemudian Beliau mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur.

Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. 

Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.

“Wahai Khadijah Mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?”, tanya Rasulullah dengan lembut.

“Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?,” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

Baca Juga:  Pesantren Miftahul Jannah Terima Bantuan Wali Santri Rp200 juta untuk Palestina

“Wahai suamiku. Wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan,” jawab Khadijah.

“Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya.”

“Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyebarangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.”

“Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.”

Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. 

Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.

Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

Sumber: Ustadz Zainul Hakim pada WA group Masjid Al Istiqomah. Kitab Al Busyro, yang ditulis Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliky al Hasani.(Novis)